Selasa, 23 September 2008

Seribu cermin Pak Wagub, Cermin Bagi Caleg

Saya cukup tertarik dengan ceritanya Pak Wagub Kepri, H.M Sani soal cermin. Cerita itu dia sampaikan kepada rekan-rekan wartawan di ruang siar RRI Tanjungpinang. Menurut saya ringan, namun syarat makna.

Ceritanya cermin dari pak wagub itu begini, dulu ada putra mahkota bertanya, kenapa dia belum juga diangkat jadi raja. Padahal dia menganggap dirinya sudah layak. Baik dari segi usia, serta wawasan.

Lalu, pertanyaan itu dijawab perdana mentri. Si Putra mahkota diminta baginda raja untuk kembali belajar. Dengan sangat terpaksa, putra mahkota pun menuruti. Dia akhirnya dikirim kepada seorang cerdik pandai yang cukup termahsyur di seantero kerajaan.

Sesampainya di sana, si putera mahkota kembali bercerita tentang keinginannya untuk menjadi raja. Ya, raja. Raja bagi kerajaan yang makmur semasa kepemimpinan bapaknya. Mendengar cerita itu, si cerdik pandai mengkerutkan kening. Dia lalu beranjak, dan kemudian pergi keluar rumah. Sekejab kemudian dia kembali lagi membawa hampir ratusan orang, berikut kereta kuda. Masing-masing kereta berisi cermin. Seluruhnya ada seribu. Si Pangeran lalu bertanya.

"Untuk apa cermin sebanyak ini?" katanya.

Lalu, dengan kelembutan penuh bijak si cerdik pandai menjawab. Ini untuk pangeran. Gunakanlah untuk mencerminkan diri anda paduka. Tiap cermin dapat menunjukkan kekurangan di diri anda. Dengan mengetahui kekurangan itu, mudah-mudahan paduka dapat berintrosfeksi diri mengenali kekurangan yang dimiliki. Tak ada yang tahu kekurangan, selain anda.

Cerita pak wagub itu kemudian mengingatkan saya kepada pesta demokrasi yang kini sedang dalam tahapan. Banyak wajah-wajah terpampang di kain berukuran besar menghiasi sudut jalan. Wajah-wajah mereka penuh semangat, cerah, ramah, sopan, dan senyum sumringah. Mungkin menurut saya, "cermin=introsfeksi diri" dibutuhkan bagi mereka.

Wajah-wajah itu lalu mengingatkan saya kepada tulisan mantan pimpinan redaksi saya di
Posmetro Batam, Hasan Aspahani (semoga sukses selalu). Dalam rubriknya, "pendekar puisi" satu ini berseloroh soal wajah-wajah para calon anggota legislatif yang memanfaatkan (kalau tak khilaf) momen tahun baru buat berkampanye.

Tulisannya ringan namun menurut saya mengundang rasa. Kira-kira yang disampaikannya begini: Kalau ingin tetap diingat dan dikenal, sebaiknya penampilan anda di spanduk jangan berubah sampai masa pemilihan tiba. Kalau di gambar memakai kumis, peliharalah kumis itu.

Disarankannya pula demikian: sebaiknya, peliharalah juga tatanan rambut. Jangan sampai model rambut yang digambar berbeda dengan yang di gambar. Intinya saran tersebut biar masyarakat calon pemilih tetap ingat dengan wajah mereka.

Menurut saya apa kata mantan bos saya ini masuk akal. Di Kota Tanjungpinang saja, tidak sedikit wajah-wajah yang mesti diingat warga. Ada ratusan jumlahnya. Wajah-wajah calon anggota dewan terhormat itu kini kian marak bertebaran. Saya yakin, menjelang lebaran ini pun spanduk-spanduk akan berubah dengan ucapan yang lain. Kembali pada pesan mantan pak bos tadi, biar spanduk diganti, penampilan asli dengan gambar di spanduk tidak berbeda.

Yang saya jumpai, tidak sedikit orang-orang dari partai politik, tokoh masyarakat, sampai ustadz yang biasa mengajar mengaji, begitu kebelet menjadi anggota dewan. Tak jarang dari mereka mulai jaga-jaga prilaku. Menyapa setiap orang dengan ramah, bersikap selembut
mungkin. Bahkan ada pula diantaranya yang tidak segan-segan menyelipkan sedikit kata jangan lupa nomor urut sekian dari partai anu disetiap akhir pembicaraan.

Saya terus terang khawatir dengan pemberitaan di mas media yang pada masa akhir pilkada atau pemilu memberitakan soal meningkatnya kebutuhan akan psikolog. Seperti yang terjadi di Ponorogo belum lama ini. Seorang mantan kandidat bupati Ponorogo tahun 2005 ini nekat mau bunuh diri. Bukan hanya lantaran kalah dalam kancah peperangan pilkada. Dia stres karena hutangnya menumpuk dan tidak mampu mengembalikannya. Hutangnya tidak sedikit, Rp2,4 M.

Itulah kekurangan pak bupati. Dia tidak mendengar cerita cermin dari pak wagub seperti saya.

Tidak ada komentar: