Rabu, 10 September 2008

Bingkai


Oleh : Andri Mediansyah

Di dinding kamar kos tempat ku tinggal, terpajang rentetan foto terbalut bingkai. Foto-foto itu sengaja aku pajang. Banyak kenangan yang tersimpan dari potret diri itu. Mulai di saat aku merangkak, kanak-kanak, hingga diriku yang saat ini kurasa telah dewasa.

Ada satu foto yang sengaja kucetak lebih besar. Foto saat aku merangkul mesra ibuku. Foto yang kurasa sangat ampuh untuk mengenang ketulusan ibu yang tanpa letih membesarkan dan mendidikku. Aku ingat perkataan ibu, tentang mengapa almarhum bapak memberikan nama Suci kepadaku. "Itu karena mendiang ingin kamu menjadi wanita yang juga suci. Suci seperti namamu," kata ibu.

Sejenak, setelah sekian lama, aku tiba-tiba saja tersentak dari lamunanku. Bergegas kuraih handphone yang berada di atas kepala ranjang. "Sudah bangun. Buka pintu ya! Aku ada di depan," Suara itu tak asing lagi di pendengaranku.

Tak lama, kembali suara itu muncul dibarengi ketukan pintu. Lemas kutarik gagang pintu. Si pemilik suara yang tak lain Tikta, sahabat karibku yang selalu berpenampilan seksi. Segera saja ia merengsek masuk ke dalam kamar.
"Ya ampun Suci, berantakan banget. Dibersihin kenapa sih. Jorok tahu.....,"
"Sudahlah. Kamu tunggu sebentar. Aku mandi dulu," kataku.

Hampir lima tahun aku berteman akrab dengan Tikta. Meski kuanggap cerewet, selain cantik, dia juga kuanggap sangat baik. Dia lah selama ini sahabat yang kujadikan tempat mencurahkan uneg-uneg serta segala masalah yang kuhadapi.

Sesaat aku kembali masuk kadalam kamar, aku terkejut melihat keadaan kamar yang berubah menjadi rapih. Tak ada kertas berserakan, tak ada lagi puntung rokok bertebaran di lantai. "Jangan tersinggung. AKu yang beresin," kata Tikta dengan mimik khas comelnya.

**************

Tak membutuhkan waktu lama untuk kami berdua tiba di tempat kerjaku. Tempat yang pada dasarnya sangat ku benci dan sangat membosankan. Lampu sorot beraneka warna yang terkadang menyilaukan mata, ditambah lagi suara dentuman musik remix yang memekakkan telinga.

Sejak mengenal Tikta, aku juga mengenal tempat ini. Sejak mengenal Tikta juga aku menjalani pekerjaan yang dianggap orang hina. Dingin, tak berperasaan, pasrah di pelukan pria hidung belang. Terus terang aku sangat terbelenggu dengan keadaanku sekarang ini. Terhina, dihina, dan kuanggap layak jika orang-orang menaggap aku hina. Yah, aku kupu-kupu malam yang sudah lima tahun makan dengan lauk bernama nista. Aku tak berdaya....
Sungguh aku merasa kesumat saat berada dipelukan pria. Aku teringat hilangnya perawan oleh pria yang kuanggap kekasih ternyata durjana. Pria yang membuat aku hami dan tak mau mengakui kalau yang kukandung adalah anaknya. Pria yang menjerumuskan aku dalam lembah nista.

**************

"Suci, sadar.... sudah mau pagi. Kamu mau pulang nggak?" Teriakan Tikta menyadarkan aku. Aku ingat, setibanya di tempat kerja yang lebih layak jika disebut praktek mesum itu, satu pria pun enggan kulayani. "Kamu mabuk. Habis, terlalu banyak minum sih...!" kata Tikta memapahku keluar.

Beduk Subuh mengiring tubuhku memasuki kamar. Baru saja aku berniat merebahkan diri. Tiba-tiba, handphone bututku berdering. "Ah, siapa sih jam segini main telpon. Apa tak ada kerjaan," celotehku kesal. Awalnya telpon itu tak mau ku ladeni. dalam pandangan kaburku, kulihat kalau nomor yang tertera di layar handphone adalah kode wilayah kampungku. Barulah telepon itu kuangkat.
"Assalamualaikum.....!"
"Kak Suci........!" suara itu begitu ku kenal. Itu milik Susan, adik perempuanku. Tapi kenapa suaranya terdengar parau dan bersedih.
"Kenapa San.... tenang..... sampaikan sama kakak!"
"Ibu kak..... ibu......"
"Kenapa dengan ibu?" aku mulai khawatir.
"Ibu meninggal..............!" Tak kupedulikan suara Susan yang terus bicara. Dunia seolah gelap. Aku pingsan tak sadarkan diri.

Hangat cahaya matahari pagi yang masuk dari celah jendela kamar, membangunkanku. Ketika aku sadar kalau ibu telah tiada. Rasanya aku tak mau bangkit ingin menyusul ibu. Tapi tidak. Aku harus menjumpai ibu walau untuk yang terkhir kali.

******************

Mama....! Suara itu terdengar begitu merdu memanggilku. Kusambut tubuh mungil bocah perempuan yang berlari kearahku. Kutinggalkan ruang tamu yang masih berjejer bingakai berisi potret yang masih sama seperti saat dikamar kos ku lima tahun silam.

Tapi ada bingkai baru diantara sederetan bingkai-bingkai lama. Dengan bingkai baru itu, potet diri lima tahun kebelakang kuharap tertutupi. Dengan bingkai baru itu, optimis potret diri kedepanku menjadi terang secerah senyum aku, suami dan anak sulungku.

Tidak ada komentar: