Senin, 25 Mei 2009

refleksi usia 31

Ketika surya tenggelam
adakah esok terbitnya menyapa
ketika jarum jam berdetak
tak mungkin ia memukul ke belakang

coba, coba pandanglah ke cermin
mata itu, gigi itu, rambut itu, kulit itu, tak lg berpihak
usang, usang itu kini dan nanti menjadi sahabat yang menanti

lantas mau apa lagi
siapkan bekal
tanah kian dekat ke hidung
tanah adalah jam, tanah adalah surya tenggelam

Kamis, 14 Mei 2009

Tawadu'


ketika awan menggumpal hitam
dan air laut tumpah
terbang atau menyelamlah
tanya kepada burung
kepada ikan
maknai kenapa

sebelum matahari
lebih menunjukkan kuasanya
serapahlah diri
atau sebisamu buat ia bijaksana

tak perlu kau genggam dunia
cukup merekap
berbaring di pelukan alam
dan cintailah
cintai sang pemilik marah dan cinta

Senin, 23 Maret 2009

Hanya Memuji


"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup
menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

Aku pernah merasakan indahnya cinta dari seorang teman. Terus terang aku banyak belajar dari dia. Tentang bagaimana mengartikan dan memahami kata cinta.

Badrun. Ia teman sejak di semester satu bangku kuliah. Orangnya tampan mempesona. Tubuhnya non kolesterol, asli bentuk atletis. Dia sungguh pandai memainkan kata. Kiasan cinta itu sedemikian rupa dirangkai sehingga indah. Wajar saja jika gadis kampus banyak yang menyukainya. Selama ini, aku hanya bisa bersikap iri di hati yang selama ini ku besar-besarkan saja. Kedengkian menyemut di batin.

Kendati demikian, Si Badrun bukan tipe orang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia sangat tahu bagaimana menjaga perasaan wanita. Mulutnya akan berucap lihai. Para wanita akan terperangah mendengar kata-kata penolakan halusnya.

Tapi, belakangan aku menyadari pribadi Badrun sebenarnya. Bahwa ucapan, kata-kata indah dari mulutnya yang selama ini ku dengar, hanya akan mengalir deras kepada wanita yang tidak disukainya.

Belum lama ini, hati Badrun berpaut kepada mahasiswi fakultas kedokteran. Namanya Ratna. Wajahnya putih berseri laksana mega. Otaknya encer. Itu aku tahu persis. Di papan pengumuman, namanya tertera sebagai peraih IPK tertinggi.

Apa kata Badrun tentang dia: "Apakah kau pernah menyaksikan Paris dari puncak Eifel? Itulah Ratna. Dia begitu indah dipandang. Tapi terlalu jauh untuk aku sampai di sana."

"Lantas, kenapa kau tak terjun saja supaya kau cepat sampai?"

"Kamu tidak mengerti. Tentunya aku tidak mungkin mau mati sia-sia dengan menuruti saranmu itu. Aku perlu alat. Ya, semacam permadani terbang yang bisa mendaratkan tubuh dengan mulus ke pelataran kota."

"Maksudmu?"

"He he he... aku butuh kamu sebagai alatku. Aku mengharap kamu bisa menyampaikan pesan perasaanku kepadanya."

Otak kiri ku makin keras bekerja. Mencoba menyerap apa yang disampaikan Badrun barusan.

"Maksudnya, kau ingin aku datang kepada Ratna, dan memberitahukan kepadanya kalau kau suka dia."

"Yap... tepat. Kau ternyata dapat membaca fikiranku."

"Tapi tidak untuk saat ini. Aku tak ingin main langsung begitu saja. Bertahap, tidak langsung main tembak. Aku ingin Ratna terlebih dahulu mengagumiku. Merasakan sedikit tetesan mata air cinta ini."

Sejenak Badrun menghentikan ucapannya. Berjarak sekitar 100 meter di hadapan, Ratna terlihat berjalan kemudian duduk di bangku kayu terletak di tengah taman. Bias cahaya menerpa wajahnya. Rambut lurusya tersibak menutupi bahunya sebelah.

"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

"Dan coba kau lihat mantel yang dipakainya itu. Oh, andai saja aku terlahir sebagai domba, kan kurelakan si penenun mencukuri bulu-buluku untuk dibuatkan seribu mantel supaya aku selalu dapat menghangatkannya,"

"Tapi kau tak sepenuhnya cinta kepadanya Badrun."

"Siapa bilang? Aku adalah seorang quarterback sejati. Kujaga setiap inci ke incinya rasa cinta ini. Akan banyak hal yang akan menjaga, menjagal setiap yang berusaha meruntuhkan dinding pertahananku. Ya, akan ku jaga meski memang segalanya akan berubah. Akan ku raih kemenangan itu untuknya."

"Tapi engkau quarterback yang bingung harus melempar atau membawa bola hingga mencapai touchdown. Kau tak berpendirian, tak bisa dipakai. Jika kau quarterback sejati, ayo! teroboslah rintangan di hadapanmu. Hantam kemelut malu itu. Langkahkan kakimu berlari. Tapakkan kedua kakimu berdiri di hadapannya."

"Ayolah Badrun, tunjukkanlah rasa itu kepadanya. Sampaikanlah kalimat-kalimat pamungkasmu. Jika kau lupa syair tentang asmara, tak payah soal itu. Cukup kau katakan saja: "Oh Ratna.. Aku mencintaimu".

Tapi Badrun tetaplah dia yang takut kepada wanita yang ia suka. Apa yang ku katakan, baginya bak monster saja. Ia hanya berani menatap, melepaskan pandang kekaguman. Ya, dia laksana pemanah yang tak bisa melepaskan busur ke sasaran. Panah itu diarahkan kepadaku. Dia ingin aku yang melesatkan busur asmara itu.

Sobat, ikatan itu yang membuat aku rela berkata iya akan membantu. Bukan main senangnya Badrun ketika. "Ente memang best friend," katanya. Diraihnya secarik kertas. Tersenyum sumringah bibirnya menorehkan ujung pena ke kertas warna merah muda. Sesekali dia mengernyitkan dahi berfikir entah apa. Aku hanya duduk memandang heran.

"Ini. Tolong engkau sampaikan. Aku tak sabar dia membacanya."

Badrun lantas pergi. Ia nampaka begitu bahagianya. Berjingkrak kecil di jalan beton setapak kampus, lalu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain yang berlagak sibuk. Aku tersenyum. Secarik kertas tanpa nama pengirim yang tadinya dilipat, perlahan ku buka lalu ku baca.

Luar biasa. Sangat sempurna Badrun menggambarkan keindahan Ratna. Kertas itu kembali ku lipat kemudian masuk saku. Sejenak kemudian, aku bersandar di bangku. Wajah Ratna melintas di anganku. Oh, dia memang indah. Indah laksana embun pagi di ujung daun. Kecil, namun hadirnya begitu berarti bagi helai rerumput. Keindahannya juga laksana permata melekat di lengkungan cincin. Ratna, kau memang indah hingga aku tak bisa mengungkapkannya. Andai saja aku bisa melukiskan keindahan Ratna seperti apa yang dilakukan Badrun.

Entah sudah berapa banyak lembaran kertas berisi kata pujangga yang diberikan Badrun kepadaku. Sebanyak jumlah kertas itu pula, aku dan Ratna bertemu. Bercengkrama, bersendagurau, membuat kami kian akrab. Aku merasa intim.

Sementara Badrun, tetaplah sebagai pemuja sejati. Ketika gelak tawa kami pecah di atas bangku taman kampus, Badrun hanya mampu berdiri diantara pokok kayu rindang. Ia hanya berani memandang. Entah di fikirannya apa. Badrun demikian, aku dan Ratna tenggelam, hanyut dalam senda gurau.

"Bagaimana perkembangannya. Apa yang dia katakan tentang surat-surat itu. Sukakah ia. Ayolah cepat kau katakan kepadaku."

"Suka. Ya, dia nampak begitu bahagia larut bersama kata-kata yang kau tulis."

"Terus, apa katanya. Cintakah ia kepadaku?"

"Oh, aku tak tahu soal itu. Bukankah kau bilang bertahap. Bukankah katamu kau akan menembaknya jika Ratna sudah menunjukkan respon."

"Jadi, menurutmu saat ini waktu yang tepat untuk aku menunjukkan siapa sebenarnya aku."

"Iya. Menurutku malah bukan saat ini. Semestinya sedari rasa di hatimu itu muncul."

“Ah, nantilah bro. Aku masih ingin dia menyadari keindahannya dari syair-syairku.”

Demikianlah Badrun. Dia sudah merasa bahagia dengan Ratna mengagumi kata-katanya. Terus terang aku sedih jika mengingat dia. Belakangan dia sudah tidak lagi menuliskan syair terindahnya kepada Ratna. Kata-kata itu, kini terendap dalam di batinnya. Rasa itu sudah dia kubur dalam-dalam. Kata cinta dianggapnya barang najis. Dicampakkan, diinjak-injak laksana sesuatu yang tak berharga.

Dia kini memilih berucap enggan di saat aku mengajaknya berjumpa untuk jalan bersama entah melakukaan aktifitas apalah. Kalau pun mau, aku merasakan sebuah keterpaksaan. Badrun lebih banyak diam. Nyaris tak ada lagi semangat. Bergulir dengan waktu, hubungan kami semakin renggang saja. Hingga akhirnya, antara kami kini sudah tidak terjalin ikatan persahabatan lagi. Entah mengapa, semakin lama Badrun merasa aku sebagai orang asing. Demikian perasaanku kepadanya.

Belum lama ini, aku menyadari mengapa dia sangat-sangat marah. Sebulan yang lalu, dia ternyata sadar jika ternyata syair yang dia rangkai indah di kertas merah muda itu sia-sia belaka. Ratna ternyata meyakini kalan pendekar penyair di kertas itu adalah aku.

Aku merasa sedih harus kehilangan kawan. Aku merasa bersalah kenapa aku tak berterus terang jika ternyata syair-syair indah itu merupakan buah perasaan Badrun.

Jumat, 20 Maret 2009

Kemana Cita-Cita Kami dan Anakku


Tulisan berikut adalah sebuah pengalaman saya menjalankan profesi saya sebagai jurnalis. Armaini, dia seorang ibu yang menurut saya memiliki pengalaman hidup yang getir. Sebuah kenyataan hidup yang mungkin ada di sekitar lingkungan kita. Mudah-mudahan Anda yang saya hormati berkenan membacanya. Mudah-mudahan akan menggugah hati kita sekalian untuk lebih bersemangat melihat lingkungan sosial sekitar kita. Trimakasih:

Air mata Armaini (53), seolah tak henti mengalir. Ia teringat anaknya, Sandi Kurnia (15) yang kini berada di balik jeruji Rumah Tahanan Tanjungpinang. Dia khawatir anaknya berulang kali mengatakan ingin bunuh diri karena takut berada di dalam penjara. Armaini ingin membesuk setiap hari. Tapi apa daya, biaya menjadi kendala.

Airmaini, ibu empat orang anak ini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang letaknya terpencil diantara perumahan warga di Jalan Sunaryo, Gang Pelita RT.03 RW.VIII Tanjungpinang. Di rumah petak berukuran 2x7 meter itu, ia kini tinggal bersama suaminya Samsul Bakhri (55), dan anak bungsu mereka Sandi Kurnia (15) yang kini menunggu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Tiga anak perempuanya sudah tidak tinggal bersama mereka lagi. Mereka telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Armaini merasa cukup ketiga anak perempuannya hanya tamat sekolah dasar dan tingkat pertama. Penghidupan mereka hanya mengandalkan penghasilan dari sang suami yang bekerja penambang pompong.
"Mengharap rezeki macan. Dapat dua puluh ribu sehari, sudah syukur," kata Armaini, Jumat (20/3) siang.
Dengan rezeki "macan" itu, ia menyebut sudah terbiasa jika tak ada lauk yang bisa disantap. Ditambah dengan permasalahan yang kini dihadapinya, daging di tubuh wanita baya itu makin menyusut saja. Dia katanya sakit sejak Sandi, anak bungsu laki-laki satu-satunya itu, dimasukkan ke dalam bui lantaran melakukan pelanggaran lalu lintas.
Pada 4 September 2008 lalu, waktu bulan puasa, Sandi dijemput teman satu sekolahnya di SMP Negeri 8 Tanjungpinang. Sandi dijemput pergi menggunakan sepeda motor. Di tengah jalan Sandi berganti mengendarai. Musibah. Ketika melintas di depan Swalayan Top 10, Jalan Tugu Pahlawan, sepeda motor yang dikendarai Sandi menabrak sepeda motor lain.
Sandi mengenal orang yang ditabraknya. Esa, remaja yang ditabrak itu teman satu sekolah, sekaligus juga teman sepermainan di kampung. Sepeda motor yang dikendarai Sandi rusak. Demikian pula dengan sepeda motor lawannya. Akibat kecelakaan itu, Esa mengalami luka di bagian kepala.
Malam di hari kecelakaan, orang tua beserta kakak-kakak Sandi menemui pihak keluarga Esa. Mereka meminta damai. Kejadian itu diharapkan dilupakan.
Pihak keluarga Esa, seperti dikatakan Surya (23), Kakak Sandi, menyatakan keinginan supaya keluarga mereka peduli memberikan biaya pengobatan serta mengganti biaya kerusakan sepeda motor. Jumlahnya Rp4 juta untuk pengobatan, dan Rp8 juta untuk perbaikan sepeda motor.
"Kami tak sanggup. Dari mana uang sebanyak itu," kata Surya.
Kendati demikian, perdamaian tetap terpenuhi. Perdamaian hanya berdasarkan lisa, tidak disertai pernyataan hitam di atas putih. . Orang tua Sandi pun merasa lega lantaran mereka menganggap masalah telah selesai.
Tapi perkiraan mereka salah. Tanggal 10 September, petugas dari Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Tanjungpinang, datang. Kedua polisi itu membawa Sandi ke kantor mereka di Batu 3 untuk dimintai keterangannya didasarkan laporan yang diberikan oleh orang yang ditabrak Sandi.
Armaini seketika syok. Dia takut anaknya berurusan dengan polisi. Ia sejak itu tak peduli lagi dengan urusan rumah tangga. Dia pun degan setia menunggu Sandi diperiksa. Beban pikirannya makin berat saja manakala polisi menyatakan Sandi harus ditahan.
"Waktu itu saya tak mau pulang. Tak makan tak mengapa. Saya tidur di emperan jalan dekat kantor pak polisi. Saya tak peduli," kata Armaini mengenang.
Armaini hanya mampu bertahan dua hari saja. Ia jatuh sakit. Kondisinya lemah. Di rumah ia terus melamun, menangis, mengingat bagaimana kondisi anaknya. Seminggu kemudian, Sandi dibebaskan. Polisi berbaik hati menangguhkan penahanannya.
Kondisi Armani perlahan membaik sepulang anaknya itu. Ia bahagia. Cita-cita untuk melanjutkan sekolah anaknya, dia bayangkan bisa terwujud. Mereka mendatangi SMP 8 tempat Sandi sekolah. Mereka berharap anaknya itu bisa kembali bisa bersekolah di SMP itu.
Tapi tidak bisa. Sandi sudah terlanjur dikeluarkan. Absensi Sandi banyak keterangan alfa.
"Padahal absennya itu karena dia sakit cacar. Keterangan dokter menyebut Sandi diperbolehkan sekolah sampai dia sembuh," ujar Armaini.
Tak mengapa, toh Armaini dan suaminya beranggapan Sandi bisa bersekolah di sekolah lain. Untuk biaya pendaftaran, Syamsul Bakhri merelakan untuk tidak menonton lagi. Televisi milik mereka, dijual. Uangnya mereka simpan baik-baik menunggu tahun pelajaran baru tiba.
Hari hari pun terus bergulir. Hingga 23 februari lalu, kenyamanan rumah mereka kembali sirna. Dua polisi yang dulu menjemput Sandi, datang lagi dengan maksud tujuan yang sama. Sandi kali ini dijemput untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Sungguh menyakitkan bagi Armaini, Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, dalam surat penetapan nomor PRIN-297/N.10.10.3/Ep.1/02/2009, memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Limbong SH, menahan Sandi. Anak bawah umur itu dititipkan ke Rumah Tahanan Kelas I Tanjungpinang.
Ditemui di ruang kerjanya, Limbong SH menyebut penahanan terhadap Sandi itu prosedural. Alasannya, tidak ada perdamaian antara kedua belah pihak, dan korban berstatus pelajar. Selain itu, ujar Limbong SH, Sandi tidak berstatus sebagai pelajar meski ia masih di bawah umur. Sandi juga disebutnya tidak kooperatif selama menjalani pemeriksaan di kepolisian.
"Alasan itu yang menyebabkan terdakwa harus kita tahan. Jika tidak ditahan, kita khawatir pihak korban akan marah," ujar Limbong.
Sejak ditahan itu, Sandi sudah tiga kali menjalani persidangan. Baru satu kali dia didampingi oleh petugas Balai Pemasyarakatan, sebuah lembaga yang khusus mendampingi anak-anak saat berhadapan dengan hukum. Selama menghadapi masalah itu pula, Sandi tidak mendapat perhatian penuh dari Komisi perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kepri.
Putu Ervina, Ketua KPAID Kepri, mengatakan pernah mendampingi Sandi ketika menjalani pemeriksaan oleh kepolisian meski tidak secara formal. Hanya satu kali itu saja. Selanjutnya, KPAID Kepri tidak mengikuti lagi perkembangan permasalahan hukum yang dihadapi Sandi.
"Kami baru tahu setelah diinformasilkan oleh wartawan. Akan kami follow-up. Pokja Pengaduan kami (KPAID) akan menemui keluarganya," kata Putu, Jumat (20/3).
Setelah menjalani tiga kali persidangan, Kamis (19/3) lalu, Sandi menerima tuntutan. JPU menuntutnya dengan penjara selama 6 bulan. Ia dianggap bersalah melanggar pasal 360 ayat 1 KUHP. Menurut Limbong SH, tuntutan tersebut wajar, bukan berdasarkan pertimbangan pribadi, namun atas pertimbangan atasannya.
Armaini, Samsul Bakhri, Surya, dan saudara-saudaranya yang lain kini hanya bisa pasrah. Mereka kini hanya menunggu vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada persidangan sekali lagi. Armaini, ketika ditemui, mengaku selalu memanjatkan doa dalam shalatnya supaya hakim dapat memutuskan seringan-ringannya untuk anaknya.
Ia menangis. Ia teringat anaknya. Sandi katanya selama ditahan di dalam Rutan, selalu menangis. "Saya tak tega," ujar Armaini mengusap air mata.
Anaknya itu, katanya, bak putus asa. Sudah beberapa kali Sandi menyebut lebih baik mati saja. Dia pernah mengutarakan ingin bunuh diri.
"Anak saya itu suka berfikir macam-macam," katanya.
Sandi menyampaikan ingin setiap hari ditemani, dibesuk di penjara. Dia katanya takut. Armaini mengaku ingin. Tapi apa daya. Dia terkendala biaya. Ia katanya tidak memiliki ongkos serta tak ada sesuatu yang bisa dibawakan untuk anaknya.
"Tolonglah pak.. kami tak tahu berbuat apa," ia menangis lagi. Sandi katanya anak lelaki satu-satunya yang kini diharapkan dapat memperbaiki kehidupan mereka. Sandi disebutnya ingin mereka sekolahkan, dengan segenap daya upaya melanjutkan cita-cita mereka.
"Kami ini orang bodoh. Tak ingin kami anak kami ikut bodoh!"
Wanita itu, wanita bertubuh ceking itu kian larut dalam sedihnya.

Selayaknya Kepri Punya Lapas Anak.
Ketua Pokja Pengaduan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Kepri, Andi Amril, menyebut memang sudah selayaknya Provinsi Kepri memiliki Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
KPAID mengaku memang tidak memiliki data resmi mengenai jumlah anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk mendapatkan angka tersebut, KPAID disebutnya sedang mengupayakannya melalui surat yang dilayangkan kepada Pengadilan Negeri (Batam, Tanjungpinang, dan Karimun).
Untuk Tanjungpinang, katanya, dari data yang didapatkan dari Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, sepanjang tahun 2008 lalu terdapat 13 kasus yang pelakunya berada dibawah umur.
Untuk mengupayakan diadakannya LP khusus Anak, KPAID telah mengusulkan dalam salah satu pasal pada Peraturan Daerah (Perda) yang kini tengah digodok oleh Pemerintah Provinsi Kepri.
Dalam menghadapi permasalahan hukum, kata Andi, anak-anak yang jiwanya rentan, akan mengalami tekanan fsikis yang mengganggu kejiwaannya.
"Mereka masih memiliki hak-hak kesehatan, mendapat perhatian khusus dari orang tua. Saat mereka di penjara, tentu-hak-hak itu hilang," ujar Andi.
Menunggu perda itu terealisasi, lanjut dia, anak-anak bermasalah hukum yang dititipkan di Rutan, semestinya mendapat perlakuan khusus. Mereka tidak boleh dicampur dengan tahanan dewasa, dan mendapatkan bimbingan psikis.
"Ini sangat penting untuk kejiwaan mereka," katanya lagi.
Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas I Tanjungpinag, Oga Darmawan SH, M.Si menyebut pihaknya menyediakan dua ruang khusus bagi anak-anak bermasalah dengan hukum. Hal itu disebut Oga memang terbatas. Bimbingan anak katanya masih mengandalkan petugas Balai Pemasayarakatan.
Anak-anak yang bermasalah dengan hukum tersebut digabung dengan tahanan yang berusia anak dengan klasifikasi mulai dari usia 0 sampai 18 tahun. Mereka tidak dipisah, dicampur dengan tidak memandang jenis kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Oga lalu menyebut ada dua klasifikasi tahanan anak di Rutan, anak pidana dan anak titipan.
"Sudah selayaknya jika diadakan LP khusus anak," katanya.(ame)

Senin, 09 Maret 2009

Tanjung Sebauk




Matahari belum lagi seperempat turun di upuk barat. Siang itu, Minggu (9/3/09), seorang pemuda berjibaku dengan asin laut Tanjung Sebauk, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Matanya memicing menembus bening air. Sekejab, tangannya yang berpeluh cepat melesat ke dalam air. Satu hewan sebangsa siput sudah berada dicengkramannya. Orang Melayu menyebut hewan itu dengan nama gong gong, hewan yang menjadi makanan khas laut di Tanah Melayu ini.

Sudah hampir dua jam dia melakukan itu. Sudah lebih 100 biji gong gong masuk ke dalam jaring khusus yang sudah disiapkan. "Dapat dua ratus saja sudah cukup," kata pemuda bernama Almi (28) itu. Dengan memperoleh 200 biji gong gong, berarti Almi sudah mengantongi uang Rp50 ribu. Tiap 100 gong gong dia jual seharga Rp25 ribu.

Setelah hasil tangkapannya dirasa cukup, Almi pun lalu beranjak
pulang. Gong gong siap dijual dan kemudian diolah untuk disantap pemburu kuliner di kelong-kelong (restauran laut) yang terdapat di bibir pantai Tanjung Sebauk.(andre)










Jumat, 27 Februari 2009

IBU



ibu
ingatkan kita nama itu
di saat tubuh menggunungkan perut
menyesak dada
membuatnya sulit bergerak
sekalipun merangkak

lembaran daging perutnya
sering kali ditunjang dari dalam
mana ada dia marah
jemarinya penuh kasih membelai
kulit perut seakan kepala

kita mungkin lupa tapi dia melupakan
di saat nyawanya hampir meregang
ketika kita tetap memaksa melihat alam

sakit:
namun tersenyum ia ketika kita menangis
dia mati suri
tapi kita malah merengek meminta tetek

ingatkah kita
ketika sari tubuhnya menyusut
karena selalu kita hisap

ingatkah
ketika waktu-waktunya digadaikan
malamnya jadi siang
siangnya harus gelap

sempit untuknya senggang untuk kita
gelap untuknya terang untuk kita
lapar baginya kenyang buat kita
sedih untuknya bahagia buat kita

ingatkah
air kasih itu terus mengalir
merubah nila menjadi susu
meronakan gelap
menyulap pekat
asanya milik kita
harapannya tak lain kita

ingatkah
ketika sajadahnya basah
menggenang air mata
memuji tuhan namun bukan untuknya
melainkan untuk kita

kini
masih ingatkah kita kepadanya
sang pemilik surga di telapak kaki itu

(26 Februari 2009)

Selasa, 24 Februari 2009

Cerpen: Lonceng Terakhir



Percikan api dari gulungan tembakau tertiup angin masuk ke lipatan keriput mata Pak Kadir. Pria sudah baya itu menggeliat. Matanya memicing perih berair. Mulutnya menganga nyeri mengepulkan asap putih.

“Ha ha ha… Bapak memang sudah tua. Anak api itu tak bisa dinampaki. Padahal dekat sekali dengan bola mata Bapak."

Pak Kadir terbahak. Tangannya mengusap mata yang tadi perih. Dia balas guyon itu dengan senyuman ringan saja.

“Mas Ihsan pandai saja kalau bercanda.”

Mereka kini terbahak bersama di sela tengah malam itu.

Udara mulai terasa dingin. Angin pembawa embun sejuk bertiup menusuk pori-pori. Ihsan melipat ujung jaket beludrunya lalu mendekapkan kedua tangan ke sela ketiak.

“Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan Pak,” katanya.

Pak Kadir mengangguk. Matanya menoleh langit sembari menyalakan korek api membakar sampah, menumpuknya dengan kayu bakar, lalu tak lama jadilah api unggun.

“Saya meminta jangan sampai hujan Mas. Nanti makin enak saja maling bergentayangan,” katanya.

Atas alasan itulah Ihsan dalam sepekan ini menemani Pak Kadir di pos kamling. Tengah malam pekan lalu, perumahan tempat Ihsan tinggal riuh dengan suara dentang benda keras yang diadu dengan tiang listrik. Warga perumahan sudah faham tanda suara itu. Dentang yang ditabuh beruntun dengan tempo cepat tak beraturan, merupakan pemberitahuan tanda bahaya.

Warga di sana lekas keluar rumah. Tak ketinggalan pula Ihsan. Mendengar suara itu, cepat dia turun dari peraduan lalu ligat meraih daun pintu dengan sedikit berlari. Di depan rumahnya dia melihat Pak Kadir berdiri bertolak pinggang mengacungkan pentungan ke arah dua pria yang nampak samar berlari di ujung gerbang lalu menghilang ditelan gelap.

"Ada apa Pak?"
"Tadi saya memergoki dua laki-laki sedang mencongkel jendela samping rumah Mas Ihsan. Mereka bercadar."

Lekas Ihsan melangkah menuju jendela yang ditunjuk Pak Kadir. Daun jendela belum terbuka. Namun, di kusennya jelas dinampaki goresan bekas congkelan benda keras.

"Dia pakai linggis. Yang satu lagi pegang parang,"

Suara itu memecah konsentrasi Ihsan. Ditatapnya Pak Kadir yang berdiri sekitar satu tombak di sampingnya. Nafas pria tua itu didengarnya terengah. Dadanya naik turun sebagai pertanda kalau dia baru saja mengeluarkan tenaga ekstra.

"Tangan Bapak berdarah."
"Tidak kenapa Mas. Cuma goresan kecil."
"Tidak pak. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus diobati,"

Di luar pagar, satu persatu tetangga mulai ramai. Mereka tak perlu bertanya ada apa. Dengan melihat yang Ihsan perbuat serta apa yang dibicarakan dengan Pak Kadir tadi, mereka sudah tahu apa yang terjadi.

"Kita harus melapor polisi," kata Ketua RT kepada Ihsan.
"Iya Pak. Tapi saya harus mengantar Pak Kadir berobat dulu. Lukanya cukup serius. Soal itu, mungkin Saya bisa minta tolong Bapak menelepon teman Saya yang bertugas di Polsek Tanjungpinang Timur. Seingat saya, dia sedang bertugas malam ini."
"Oh iya. Biar saya lakukan. Akan saya kabarkan tentang apa yang terjadi ini."

Ihsan kemudian meminta istrinya mengambilkan hand phone, dompet, serta kunci mobil. Segera dibawanya Pak Kadir ke klinik terdekat setelah sebelumnya memberihan nomor selular milik temannya ke Ketua RT.

Ihsan merasa risau. Tangan Pak kadir makin banyak mengeluarkan darah. Tapi pria tua itu cukup beruntung karena parang pencuri tak sampai memutuskan lengan.

"Lukanya cukup dalam Pak. Tapi tak apa. Dengan sedikit jahitan, luka ini tak lama akan kering," kata perawat yang mengobati Pak Kadir.

Ihsan merasa sedikit lega dengan keterangan itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengobatan, mereka pun pulang.

"Malam ini, Bapak menginap di rumah saya saja. Nanti saya usulkan kepada Pak RT supaya pemuda perumahan kita disiagakan melakukan ronda malam ini."

Pak Kadir mengangguk. "Trimakasih," katanya.

Dari kejauhan, di depan rumah, Ihsan melihat terparkir mobil patroli polisi. Rekan polisi yang dimitanya dihubungi tadi, terlihat bercengkrama bersama Ketua RT dengan ditemani sang istri.

Ihsan dan Pak Kadir disambut meraka. Sementara itu, beberapa petugas polisi lainnya nampak sibuk melakukan proses identifikasi, memoles bubuk hitam ke kusen dan jendela, mencari letak yang dimungkinkan sidik jari si pencuri tertinggal.

Pak Kadir kemudian diperislahkan duduk. Polisi lalu memintai keterangannya. Dia ditanyai soal seperti apa ciri kedua pelaku, sampai bagaimana dia bisa terluka.

"Saya tidak melihat jelas wajahnya. Mereka pakai cadar. Waktu saya pergoki, yang memegang parang itu menyerang saya membabi buta. Parang tadinya dikibaskan ke arah badan. Untung saya sempat menangkis dengan pentungan ini. Tapi tetap saja ujung parang mengenai lengan saya."

Pak kadir bercerita panjang lebar tentang apa saja yang ia ketahui. Tentang apa saja yang dibutuhkan polisi sebagai bahan penyelidikan, sampai bagaimana dia juga berhasil menyarangkan satu pukulan pentungan yang menurutnya mendarat keras ke kepala orang yang melukainya tadi.

"Trimakasih Pak. Kami akan menghubungi Bapak lagi jika ada perkembangan penyelidikan, atau kami akan datang kalau ada keterangan tambahan yang kami butuhkan dari Bapak,"

Petugas kepolisian itu pun kemudian pergi.

"Trimakasih Pak. Bapak sangat berjasa. Tidak dapat saya bayangkan apa yang kemudian terjadi kalau saja kedua orang tadi berhasil masuk ke dalam rumah."

Ihsan kemudian berfikiran macam-macam. Berfikir berbagai kemungkinan andai saja dua maling tadi berhasil masuk rumah. Bisa saja ia dilukai. Bisa saja anak dan istrinya disandera dan....

"Ah, tak perlu sampai berterimakasih Mas. Ini sudah kewajiban saya. Saya diberi upah bulanan oleh warga memang untuk menjaga keamanan perumahan ini."

Ihsan tak berkata apa-apa lagi. Baginya Pak Kadir tetap saja sebagai pahlawan. Pahlawan yang menyelamatkan apa yang dimungkinkannya bisa saja terjadi.

Malam itu, Pak Kadir menginap di rumahnya. Ihsan bahkan mempersilahkan pahlawannya itu untuk tinggal di rumahnya berapa lama saja yang Pak Kadir mau.

Tapi Pak Kadir tidak seperti itu. Pria tua yang terdampar setelah gagal menjadi TKI di Malaysia itu, menyatakan lebih kerasan tinggal di pos kamling yang menjadi rumahnya sejak tiga tahun lalu.

"Saya tidak bisa memaksa Bapak. Tapi, kalaulah Bapak sedianya ingin pulang ke Jawa untuk berkumpul dengan keluarga di sana, saya siap membantu,"
"Trimakasih Mas. Tapi di Jawa saya tidak punya keluarga lagi. Istri saya sudah meninggal. Anak lelaki saya tak tahu sekarang ini dimana. Terakhir, saya dengar dia ada di Malaysia. Jadi pekerja gelap."

Sejak kejadian itulah hubungan Ihsan dan Pak Kadir kian akrab. Setiap malam, setelah ia pulang ke rumah, Ihsan selalu menyempatkan diri menemani Pak Kadir yang selanjutnya memutuskan kembali berjaga malam lagi. Secangkir kopi dan beberapa penganan kecil, sering kali menghantar keduanya mengobrol hingga malam menjadi larut.

Malam itu, angin makin bertiup kencang. Apa yang diramalkan Ihsan, dan apa yang dikhawatirkan Pak Kadir, akhirnya datang juga. Satu perstu rinai hujan turun. Makin lama gemericiknya kian besar saja. Tanah yang tadinya kering kini menjadi becek.

"Hujannya makin lebat Pak. Saya pamit pulang dulu. Malam ini nampaknya akan semakin dingin. Sebaiknya bapak menggunakan pakaian hangat. Satu lagi, hati-hati,"

Ihsan bergegas pergi. Sempat dilihatnya Pak Kadir tersenyum berdiri di pintu pos kamling menghantarnya pulang. Dalam waktu yang tidak lama, Ihsan sampai di rumah. Di dalam kamar, istrinya dilihat sudah terlelap memeluk anak lelaki mereka yang usianya baru 8 bulan. Ia lalu naik ke peraduan. Istrinya terbangun sempat bertanya bagaimana Pak Kadir. Ihsan tersenyum.

"Baik. Tidurlah. Besok abang mesti berangkat pagi-pagi. Di kantor ada meeting," katanya.

Udara dingin itu membuat Ihsan makin mengantuk. Diantara gemericik hujan yang jatuh di atap, ia dengar suara lonceng. Dentangnya dua kali. Dari pos kamling sana, Pak Kadir memberi tahunya saat itu sudah pukul 02.00. Ihsan pun tak lama kemudian larut dalam mimpi buai malam.

*

Pagi-pagi benar Ihsan sudah bangun. Sang istri dilihatnya sibuk di dapur menyiapkan sarapan bagi mereka. Langkahnya ke kamar mandi tiba-tiba terhenti, ketika didengarnya teriakan tergesa seorang pemuda di luar pagar.

"Pak Ihsan...." suara itu terbata memanggilnya. Ihsan melangkah cepat menuju asal suara.

"Pak Kadir...!"
"Ada apa dengan Pak Kadir?"
"Pak Kadir.... dia.... dia...."

Pemuda itu tak dapat berkata lain selain menyebut nama lelaki yang sejak sepekan lalu dianggap Ihsan sebagai pahlawan itu. Dengan terengah-engah, pemuda itu berkali-kali menunjuk ke arah pos kamling.

Tak harus menunggu penjelasan lagi, Ihsan lekas berlari ke arah yang dimaksud. Dilihatnya di sana ramai kerumunan orang. Garis polisi berwarna kuning dilihatnya membentang mengelilingi sosok tubuh tua tertelungkup basah di atas tanah.

Disaksikannya tubuh Pak Kadir bagai jasad tak berguna bersimbah darah. Luka menganga di sana sini. Wajah keriput itu begitu pucat begitu kaku. Ihsan menangis.

"Dia dibunuh. Saya barusan dikabari, salah seorang pelakunya sudah ditangkap. Dia orang yang berhasil dilukai Pak Kadir waktu akan masuk ke rumahmu dulu. Yang sabar. Mudah-mudahan kami berhasil menangkap satu pelaku lain."
"Dimana kamu malam tadi?"

Ihsan kian menangis mendengar keterangan temannya yang polisi itu.

"Oh.... terakhir saya mendengar beliau membunyikan lonceng jam dua pagi tadi,"

(Tanjungpinang, 24 Febuari 2009)

Senin, 23 Februari 2009

Simaklah

kamu lupa menyimak
: saat kupuisikan pagi
saat malam kujadikan rayuan

kamu juga lupa menyimak
: air asin Gurindam ini mengalir deras ke huluan Musi
kukirim asin ini menjelma payau'
sumbang nada ini menjadi melodi

dan aku lupa menyimak
: asin itu
sumbang itu
tetap asin tanpa payau
tetap sumbang tanpa nada

simaklah ia

(buat mantan pacar)

Kamis, 22 Januari 2009

Cerpen


Perjaka Subandi
cepren Andri Mediansyah

Suara tetabuh musik Melayu riuh di luar. Saat itu, akhir Desember 2008. Kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, wajahnya riang menatap kami: aku dan wanita yang akhirnya dengan bangga kupersunting. "Akhirnya kamu menikah. Akhirnya keperjakaanmu pecah juga." Ah, mereka tak tahu dibalik senyum sebenarnya aku galau.


Namaku Subandi, lahir 45 tahun lalu. Sudah terbilang baya untuk duduk di pelaminan dengan pesta yang cukup meriah. Tapi tak apalah, terserah apa kata mereka .Toh ini pernikahanku yang pertama dan pasti untuk yang terakhir.

Usiaku sudah usang. Tubuh lebih banyak lunglai, mungkin mendekati sekarat. Tapi aku bangga berada di lingkungan orang-orang berperhatian. Meyakinkan bahwa aku masih layak punya pendamping hidup, menghalau agar tak lagi menjadi cemooh "Subandi Perjaka Tua". Emak, kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, selama ini bertanya: "Kenapa kamu lebih pilih membujang?"

*
Suatu hari 30 tahun lalu, aku pernah jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya tidak pantas dicinta. Dia jauh lebih tua dari usiaku yang baru lima belas. Rasa yang tidak pantas karena dia berstatus istri orang.

"Nak mampus kau"

Emak sangat marah tiap kali memergoki aku mengintip wanita itu. Dari balik jendela rumah, atau dari celah kamar mandinya. Emak tahu benar kalau aku suka dia.

"Kenapa kamu suka dia?"

Jawabku ringan saja. Dia cantik. Liuk tubuhnya bahenol. Bibirnya sensual. Aku suka, aku terangsang hingga terkadang bermimpi senggama. “Celaka!” memang. Tapi bagaimana lagi, aku tak kuasa melawan rasa. Cinta ini membelenggu, membalut hati, menggelapkan pandangan.

Sampai suatu hari, aku sangat-sangat marah kepada wanita itu. Dia mencemooh cintaku. Dia tarik tanganku melekat di pakaian memebungkus payudara miliknya. "Kamu ingin cintaku atau ingin ini? Sudahlah, kamu masih kecil. Tau apa soal cinta. Pulanglah kepada ibumu dan meneteklah."

Sial, dia buat hatiku koyak. Panah yang menancap di hati dicabutnya lalu ditancapkan berulang-ulang. Hatiku berkecai buyar. Lari ke gunung, lembah, ngarai, laut, ke dalam gua, sakitnya tak terobatkan. Terbang ke awan, justru yang kulihat hamparan kekecewaan. Aku marah. Dengan apa sakit ini kulampiaskan.

Oh, rupanya ada tempat yang akhirnya membuatku bahagia. Tempat yang mampu meredam amarah darah emosi muda. Satu tempat bernama sarang wanita bejuluk kupu-kupu malam. Di sana malam-malam banyak kuhabiskan. Bersenggama di balik kamar berukuran empat kali empat, bercinta dengan wanita yang dapat sesukaku melampiaskan rasa meski semalam.

Ho ho ho...! Aku bahagia, aku tertawa dalam keperkasaan. Cinta ternyata bisa dibeli. Aku lupa kepada wanita yang kucinta namun bikin sakit hati. Lantaklah. Aku tak peduli lagi pada kesehatan kelamin. Di pikiranku hanya bagaimana nafsu syahwat terlampiaskan. Itu saja. Sampai-sampai aku enggan gunakan pengaman ketika berhubungan badan. Daging bersentuhan langsung dengan daging.

Dan begitulah, usiaku matang ketika aku masih mengkal. Entah berapa banyak wanita yang sudah terlelap di dekapan dada. Sejak itu hari-hari siangku banyak habis bersama kuli pelabuhan atau pengojek di pangkalan. Begitu getolnya aku mencari uang bersama mereka. Sekolah tak lagi jadi prioritas. Lebih banyak bolos hingga akhirnya kuputuskan berhenti saja.

Awalnya emak melarang. "Bagaimana masa depanmu nak. Kamu mau jadi apa." demikian kata beliau. Tapi nasihat emak itu kuanggap angin lalu saja. Jalani saja apa kusuka. Pada prinsifnya takdir manusia telah ditetapkan. Kalau nantinya aku jadi miskin, itu konsekuensi. Itu garisan nasib.

Kekecewaan emak terhadap keputusanku itu terendap lama. Sampai akhirnya rasa di benak beliau pudar setelah aku dipercaya menjadi supir pribadi bos real estate ternama. Gaji bulanan sebagian dijatah buat emak. Yang namanya seseran, itu jatahnya nona-nona malam. Bersenggama itu hal yang tak dapat ditinggalkan. Rutin menjadi agenda mingguan.

Tapi prilaku ini tak banyak orang tahu. Emak, kakak- adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, mereka mengaggap aku ini tetap sebagai perjaka ting ting. Oh, aku kian terlena saja. Bagaimana tidak, aku dicap lajang tua penjaga kesucian.

*

Usiaku 44 tahun ketika akhir hayat emak tiba. Beliau wafat di pangkuanku. Aku menangis ketika emak berbisik. “Menikahlah. Nikahi Sumarni. Dia perempuan baik-baik. Menikahlah”. Oh, aku tak dapat bersuara menjawab iya. Anggukanku akhirnya menghantar ruh emak lepas dari kerongkongan. Beliau pergi dengan tenang bersama bebanku.

“Mak, pergilah dengan damai ke haribaanya. Janji itu akan ku tunaikan. Tak lama anakmu yang nakal ini akan datang mempersunting wanita yang menjadi amanahmu. Mak, doakan aku. ”

Aku pergi meninggalkan kuburan emak yang masih basah sore itu.

*
Sumarni, dia wanita ayu perawan ting ting bunga desa. Usianya tak berpaut jauh dariku. Bukan karena tabiatnya tak betul yang membuat dia tak laku hingga usia kepala empat. Status dan prilaku yang membuat pria selama ini ngeri mendekat. Dia keturunan orang terpandang serta terpelihara. Hanya nasibnya yang sedikit sama seperti aku. Orang tunya belum lama meninggal di Padang Arafah ketika menunaikan ibadah suci yang ketiga.

Sumarni, dia ibarat teratai. Indah diantara kubangan, berkilau diantara pekatnya lumpur. Giginya putih berkilau tersusun rapat diapit sepasang bibir tipis merah marun. Aku terkesima. Senyum itu dia lemparkan masuk melesat ke lubuk hati. Senyum itu lalu membuat lubang di sana. Rasa yang pada 30 tahun silam berserak buyar, satu persatu dikumpulkannya. Senyum itu pula yang membuat keraguan sirna.

Sumarni, kau membuat aku jatuh cinta. Kau bersihkan jalan perasaan, menyibaknya hingga alam mimpi. Kau ada di saat aku tak sadar dalam lelap tidur malam. Kau datang ketika pagi laksana sinar mentari menyusup celah jendela kaca. Sumarni, sudilah kiranya ku bagi hati ini untuk mu. Sudilah engkau menenggak manis kasmaran ini bersamaku. Sumarni, terimalah aku sebagai suamimu.

Sejak melihat engkau, padamu jua perahu ini kutambatkan. Yakinlah perahu itu kan bersandar lama di sana. Talinya akan kuikat dengan simpul erat di dermaga hatimu. Angin kencang, bahkan gulungan ombak yang datang nantinta tak kan kuasa menyeret perahu itu. Sumarni, jangan kau biarkan perahu itu mengambang tanpa isi. Mari engkau naik ke sini bersamaku. Kita arungi samudera ini. Kita belah badai yang mendera nanti.

*

Tepat seratus hari usai kepergian emak, ku utuslah kakak tertua pergi melamar Sumarni.

“Kamu harus ikut Subandi,”
“Tidaklah kak. Mana berani aku ke sana. Dengkulku gemetaran melihat dia. Nanti aku demam. Tidaklah. Biar kalian saja yang ke sana. Iya kalau diterima. Kalau tidak, bisa mampus aku kak. Nanti di kubur sana emak bisa marah habis-habisan karena aku tak menunaikan amanahnya. Sudahlah kak, pergilah kalian saja.”
“Akh, banci kau Subandi. Kan kau sudah pernah jalan sama dia. Tentulah dia tahu kalau kau suka dia.”
“Kak, aku tak berani ngomong soal cinta kepadanya.”
“Jadi apa yang kalian obrolkan?”
“Tak ada.”
“Ya ampun. Jadi kalian cuma….”
“Ya… cuma saling diam. Aku lebih banyak memandang dari pada bicara.”

Wajahku merah. Kakak lalu berkemas pergi bersama rombongan. Di rumah aku duduk, berharap, dan menanti kabar yang mudah-mudahan baik.

*

Ucapan selamat terus mengalir dari tetamu yang hadir di pesta pernikahan kami. Aku bahagia, sebahagia Sumarni yang bersanding bersamaku mesra. Tak terbayang olehku hari ini akan datang. Kakak-adik, paman-bibi, tetangga, kerabat serta sahabat , mereka datang memberi canda: “Subandi jangan lupa berdoa sebelum menunaikan hajat malam pertama nanti.”

Aku hanya diam, malu. Pun demikian Sumarni. Pipinya merah merona. Lengannya menyikut rusukku mesra. Kami lalu tersungging bersama mengeluarkan suara yang rasanya renyah. Sepanjang hari ini, rasanya bahagia serta juga melelahkan.

Waktu pun merangkak senja. Aku dan Sumarni tak lagi mengenakan pakaian kebesaran “raja dan ratu sehari". Kami berdua berdiri di teras menghantar dua tamu yang datang belakangan. Teknisi organ tunggal penghibur pesta pernikahan sibuk menggulung kabel. Perangkat sound sistem setinggi orang sudah diangkut ke pick up diparkir di halaman. Tak lama lagi sepi. Panitia pernikahan sudah selesai menyingkirkan kursi. Satu per satu kerabat serta sahabat pergi. Tak lama lagi, hanya beberapa jam saja aku dan Sumarni akan berdua di dalam kamar pengantin berhias warna warni. Oh… tak lama lagi waktu itu tiba.

Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, aku menjadi imam dalam shalat. Shalat maghrib itu ditunaikan dengan aku tampil sebagai pemimpin. Dalam shalat aku bersyukur. Usai shalat aku panjatkan doa tertuju kepada emak. Kunyatakan bahwa aku telah menunaikan amanahnya. Ku harapkan emak bahagia mendengarkan doa. Tenanglah ia di alam baka sana.

Malam itu juga, kami berdua menyantap makan bersama. Tidak yang pertama. Ini yang kedua setelah waktu pertama berkenalan dulu. Romantis, makan malam itu kami benar-benar diperlakukan bak raja dan ratu. Kakak dan adik-adik melarang Sumarni untuk melakukan pekerjaan rumah apa pun. Tidak meski hanya mengkat piring ke dapur.

“Hari ini kamu santai dulu. Biarkan kami,” Itu kata kakak setiap kali Sumarni berusaha meraih piring atau kain lap untuk membersihkan meja makan. Sumarni mengangguk iya. Dilihatnya aku yang duduk disampingnya. Dia tersenyum melihat anggukanku. Oh, senyumnya itu begitu indah. Indah laksana prilakunya. Sangat ku sesalkan kenapa dia mesti menikah dengan aku yang sekarang ini.

Kami lalu meninggalkan meja makan, bergegas pergi ke ruang tamu yang telah menunggu tetua keluarga. Tubuhku terasa sangat lelah. Sempoyongan rasanya hendak pingsan. Tak konsen lagi aku mendengar petuah perkawinan dari mereka. Keringat menjagung keluar dari celah kulit ari. Suara-suara itu terasa bergentayang di telinga. Pun demikian pandangan. Aku lemas. Tubuh ku sandarkan di bantalan kursi sofa.

*

Di dalam kamar kami berdua. Dingin, dingin sekali. Sedingin sikap aku dan Sumarni yang baru kunikahi pagi tadi. Tak ada bahasa yang berujar. Sumarni duduk di depan meja rias, aku berbaring di ranjang. Ku tarik selimut berwarna gelap yang terlipat rapi di ujung kaki. Kurekapkan tubuhku yang makin menggigil. Dunia gelap. Aku tak sadarkan diri.

*

Tiga hari kemudian, aku terbangun. Ku lihat Sumarni, kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, menangis. Tubuhku melayang. Terkejut kulihat emak berada di sampingku. Ia tersenyum. Katanya ia bangga karena aku telah menunaikan harapannya. Ku toleh lagi ke hadapan. Jantungku berdegap kencang. Di pembaringan itu tubuhku. Sumarni mengelus-elus kepalaku. Yang lain kusaksikan masih saja menangis. "Oh Subandi, rupanya kamu tidak perjaka lagi."

Oh, kini aku ikut menangis. Aku ingin menyampaikan kata kepada mereka. "Maaf... maafkan aku. Selama ini memang kusembunyikan Si Raja Singa ini."


Tanjungpinang, 23 Januari 2009

Rabu, 21 Januari 2009

Ekspresi Dingin Pembunuh Satpam

Teriakan suara wanita memecah keramaian Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Rabu (21/1) siang. Ia berteriak-teriak hendak menerobos masuk sel bagi terdakwa yang terletak di belakang bangunan. Khatimah (50), ibu yang anaknya tewas dibunuh di Lapangan Pamedan 18 Juli 2008 lalu ini tak terima pembunuh anaknya dituntut 14 tahun penjara.

"Saya tidak puas. Saya ingin dia mati seperti anak saya," kata Khatimah kencang.

Siang itu, untuk kesekian kalinya Alex Hasibuan (26), didudukkan di kursi panas Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Terdakwa pembunuhan sekaligus penganiayaan itu diwajibkan mendengar tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri Ronald H Bakara dan Hanjaya Chandra. Ia didampingi penasehat hukum yang ditunjuk pengadilan karena dia tak mampu membayar.

Sementara itu, dideret kursi pengunjung, berbaris duduk keluarga almarhum Tedy Irawan. Satpam yang bertugas di Kantor Pemerintah Kota Tanjungpinang yang jadi korban tewas akibat api cemburu Alex Hasibuan. Pihak keluarga Tedy yang hadir diantaranya Khatijah (50), ibu kandung Tedy, dan dua anak wanitanya yang lain. Mereka menunggu ingin mengetahui tuntutan bagi pembunuh anak dan saudara lelaki satu-satunya itu. Di kursi belakang juga nampak Amin (21). Pria ini adalah juga menjadi korban penganiayaan oleh Alex.

JPU membacakan tuntutannya. Alex, di kursi pesakitan dinyatakan JPU bersalah melanggar pasal 338 Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan pembunuhan tidak berencana. Lebih subsider lagi, ia juga dinyatakan melanggar pasal 354 KUHP, akibat penganiayaan yang dilakukannya, menyebabkan hilangnya nyawa rang lain. Atas pertimbangan yang memberatkan dan meringankan terhadap dirinya, Alex dituntut dengan kurungan penjara selama 14 tahun.

Alex tertunduk mendengar tuntutan tersebut. Dia seolah tidak percaya mendengar tuntutan yang lebih ringan satu tahun dari ancaman dalam pasal. Melalui penasehatnya, Herman SH, Alex berencana mengajukan pembelaan (pledoi) pada sidang pekan depan.

Ekspresi sama juga nampak pada wajah-wajah keluarga Tedy. Mereka terlihat berbisik satu sama lain atas tuntutan JPU. Segera mereka merengsek keluar ruang sidang, mengejar Alex yang lekas digiring petugas Kejaksaan masuk kembali ke sel bagi terdakwa di bagian belakang Pengadilan Negeri Tanjungpinang.

Emosi meluap-luap di sampaikan Khatijah. Ia bertolak pinggang mengumpat Alex yang memilih santai mendengar hujatan atas dirinya.

"Kau lihatlah. Aku akan jadi setan. Ku cekik kau di dalam penjara. Biar kau mati juga," demikian salah satu umpatan yang dilontarkan Khatijah.

Petugas kepolisian, petugas kejaksaan, serta petugas pengadilan bergegas lari mendekati sumber suara. Mereka cepat datang berniat meredam apa yang terjadi. Pengunjung sidang, yang merupakan keluarga para terdakwa, tidak pula ketinggalan. Mereka ingin tahu.

Khatijah, dua saudara perempuan almarhum Tedy, serta paman dan bibinya, berdiri di belakang Khatijah yang tidak ingin berhenti melampiaskan kekesalannya.

"Biarkan saja dia meluapkan emosinya pak. Biar puas," Suara itu dari wanita setengah baya yang berada persis di samping Khatijah, meminta kepada petugas untuk memberi kesempatan. Atas umpatan itu, Alex berdiri menghadap. Dia tidak menyahut ucapan, namun berekspresi dingin. Semua yang disampaikan Khatijah dia dengar begitu saja. Entah apakah masuk ke dalam telinga lalu disaring ke otak. Ia baru bersembunyi di sudut ruangan setelah banyak yang datang.

"Enak saja dia bunuh anak saya. Saya yang melahirkan. Saya ingin dia mati. Macam mana anak saya mati, saya maunya dia begitu. Saya tidak puas kalau dia cuma dituntut 14 tahun," ujar Khatijah.

Pembunuhan yang dilakukan Alex, terjadi pada 18 Juli 2008 lalu. Waktu itu dinihari malam Jumat, Alex terbakar cemburu saat melihat Tedy dan Amin duduk bersama Cecek, wanita berusia 34 tahun yang dianggap sebagai kekasihnya di Taman Lapangan Pamedan, Tanjungpinang.

Alex yang dalam pengaruh minuman keras mendekati mereka. Singkat cerita, pertemuan itu mengakibatkan perkelahian dua lawan satu. Alex kewalahan. Dia berlari pergi lalu datang lagi. Ditangannya tergenggam broti. Kayu yang menancap paku itu lalu dengan ganasnya pertama dibenturkan ke tubuh Amin sampai pelaut itu jatuh pingsan. Kemudian, dengan dendamnya Alex lantas memburu Tedy.

Dia sangat marah kepadanya lantaran dilihatnya mencium pipi Cecek. Penganiayaan terhadap Tedy tak terelakkan. Alex berhasil mengejar dan kemudian secara membabi buta menebaskan kayu berulang-ulang ke tubuh Tedy. Kepala, badan, tangan, dan kaki Tedy bolong memar beradu kayu yang dihantamkan. Tedy tak sadarkan diri hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa lagi.

Kejadian itu mungkin masih membayangi fikiran Khatijah di hari dibacakannya tuntutan atas Alex. Setelah sekian lama kemudian, Alex dibawa ke luar sel menuju mobil terdakwa yang akan mengangkutnya kembali ke Rumah Tahanan Tanjungpinang. Dia terlihat santai. Asap rokok mengepul dari bibirnya. Di dalam mobil, pemuda kelahiran Tebing Tinggi Medan itu sempat melambaikan tangan ke arah Khatijah yang masih berdiri menantang.
"Kami akan menunggu putusan hakim nanti," kata Khatijah.

Tak Bisa Dijerat Pembunuhan Berencana

Ronald H Bakara, SH, adalah salah satu JPU atas perkara pembunuhan dengan terdakwa Alex Hasibuan. Dia adalah Kepala Seksi Intelijen di Kejaksaan Negeri Tanjungpinang. Ronald berpendapat Alex tidak bisa didakwa dengan pasal 340 KUHP. Pasal yang mengatur mengenai pembunuhan yang ada unsur perencanaan.

Dia bersama Hanjaya Chandra, rekan JPU dalam kasus tersebut, mengatakan bekerja seoptimal mungkin mencari fakta dan keterangan apakah Alex dapat dijerat dengan pasal 340.

"Faktanya tidak bisa," kata Ronald.

Perbuatan itu dilakukan Alex seorang diri, tanpa adanya perencanaan. Pembunuhan terjadi spontan setelah sebelumnya terjadi perkelahian. Demikian pula desakan pihak keluarga korban yang merasa yakin kalau pelaku pembunuh Tedy dan Amin tidak hanya Alex seorang. Dari keterangan Amin, pihak keluarga menyebut ada empat orang lain yang turut membantu Alex menganiaya Amin dan Tedy.

"Ini juga tidak bisa dibuktikan di pengadilan," kata Ronald.

Selain Amin, tidak ada fakta dan keterangan yang menguatkan hal tersebut. Mengenai ini Ronald mengaku telah memberi pengertian terhadap keluarga korban dan berharap pihak keluarga Tedy mengerti yang diupayakan jaksa selaku penuntut umum.