Kamis, 11 September 2008

Di Ujung Simpul Rafia

Oleh Andri Mediansyah

Hari sudah siang, tapi pemuda itu masih juga enggan untuk meninggalkan kasur kusam berbalut kain usang. Padahal matahari sudah hampir empat jam lewat naik dari ufuk timur. Tak sadar dia ketika itu burung sudah lelah bernanyi dan memilih riang mencari santapan.

“Heh…..!” Entah sudah berapa lama pemuda itu selalu menghela nafas serupa setiap memelekkan mata dari tidur malamnya. Jangankan bangkit dan meraih gayuh untuk mengusap wajah dengan air, meregangkan otot pun dirasanya lelah.

Entah berapa lama pemuda itu melakukan hal serupa. Menatap plafon kamar hingga hampir lewat satu jam, melongo tanpa ekspresi, gelisah, gusar. Entah apa yang dia pikirkan hingga wajahnya begitu perih.

Lama dia baru bangkit. Bekas tempat tidur tak dirapihkan lagi. Bantal guling berserak begitu saja. Kain selimut ia tinggal beribu lipatan. Tanpa membasuh muka atau kumur-kumur, tertatih pemuda asal desa itu menuju dapur.

Krutak-krutuk….! Penanak nasi ditanak tadi malam dibuka lekas. “Masih ada,” lirihnya dingin. Ia menggaruk kepala. Nasi yang mendekati basi itu disantap lahap tanpa lauk. Satu satu sendok dimasukkan ke mulut. Tak dirasa, nasi itu akhirnya habis juga. Pemuda bingung itu kemudian kembali masuk kamar sambil menenteng cawan berisi air kopi yang juga sisa malam tadi.

"Ah, mungkin lebih baik tidur lagi."


***

Lembaran koran anyar kepunyaan pemilik kos ia buka satu persatu. Isinya dianggap sama seperti koran-koran dulu. "Tak ada yang menarik," katanya. Soal isu politik, ekonomi negara yang masih buruk, pejabat ditangkap KPK saat menerima suap, anggota dewan selingkuh, atau kalau tidak pembunuhan serta kejadian kriminalitas lainnya.

Iklan lowongan kerja malah dia anggap sebagai sesuatu yang memuakkan. Pemuda itu sungkan meliriknya lagi. Baginya, semua itu sia-sia. Ibarat punguk merindukan bulan.

Tidak sama saat dia baru tiba di kota dulu. Setiap kolom berisi lowongan pekerjaan dia periksa dengan seksama. Tiap lembar, tiap baris, kata-katanya disimak seteliti mungkin. Dia tidak mau kehilangan kesempatan. Lalai membaca lowongan yang sesuai, itu sama dengan menyia-nyiakan kesempatan. Saat lowongan yang baginya pas, pemuda itu lekas menuliskan lamaran ke kertas A4, dan bergegas pergi mengantarkannya.

Tapi semangat itu sudah runtuh laksana abu. Usahanya selama ini, semua lamaran yang ditebar sana sini, tidak pulang juga tanpa balasan. Tak ada panggilan. Pemuda itu menyadari. Mungkin karena hanya tamatan sekolah menengah pertama. “Jadi kuli bangunan pun sulit,” ujarnya membatin.

Dari sekian banyak berita di surat kabar itu, hanya satu tulisan yang dibaca habis: "Investor Lari. Puluhan Pabrik Terancam Tutup." Ia sangat bersemangat membaca. Tak lama, wajahnya makin lama makin terlihat letih.

Dari pada melanjutkan bacaan untuk menambah pengetahuan, pemuda itu lebih memilih memilin suling bambu yang dibawanya dari kampung. Masing-masing lubang ditekan dilepas lalu ditiupkan. Nada nyanyian terbentuk sudah. Tapi kenapa iramanya mendayu sedih. Sedang bersedihkan dirinya?

Memang dia bersedih. Air matanya terurai mengalir lalu jatuh ke kulit gelap tubuhnya yang tak ditutupi. Tapi apa yang dia pikirkan? Putus cinta kah? Terlilit hutangkah? Atau putus asa menghadapi hidupnya yang dirasa awut-awutan?


****

Udara kamar mandi yang tadinya dingin mendadak berubah panas. Keringat dingin bercucuran dari spori-pori pemuda itu. Suasana begitu hening. Hanya terdengar suara gemiricik air dari kran yang sengaja dibiarkannya mengalir. Selebihnya, hanya sunyi, senyap menghantar lamunannya.

"Ah, sudahlah...... untuk apa lagi tubuh mu ada disini. Tak ada lagi yang dapat kau harap dan nantikan di rantauan ini,”

Suara batin itu menambah jantung si pemuda bergejolak. Gambaran keluarga di kampung halaman sesekali memaksa kepalanya tengadah ke atas plafon kamar mandi.

“Ibu sangat berat melepas kamu pergi nak. Tak ada lagi yang dapat kami andalkan selain kamu. Bapakmu tak ada lagi, adik mu masih kecil-kecil. Siapa yang dapat membantu Ibu memberi makan adik-adikmu,” ucapan dari sang ibu pun berseliweran mengingatkannya.

“Tapi kau tak bisa! Ibu dan adik-adikmu sudah tiga tahun menderita. Kenapa tiga tahun lalu mereka kau tinggalkan. Kamu mau pulang? Mau ditaruh dimana wajahmu? Apa hasil yang akan kau berikan kepada mereka?” suara dari batin kembali mendesak.

Pemuda itu lagi-lagi terdiam. Dia teriak. Tangan kekarnya lantas menjambak rambut ikal sekuat-kuatnya. Wajahnya kini memerah. Tubuhnya gemetaran, lututnya yang berada di atas bak kamar mandi juga demikian. Keringat dinginnya bukan lagi bercucuran. Air seolah tumpah.

“Sudahlah untuk apa lagi tubuhmu berada di sini!” Desakan batin itu kembali muncul.

"Setan... pergi kau."

"Kenapa kau mengusirku. Kenapa pula aku harus pergi. Kau salah. Aku bukan setan. Aku adalah bagian dari dirimu yang selama ini kau aniaya. Aku sengaja muncul untuk mengingatkan kau kembali soal cita-citamu sebelum datang di tanah ini."

"Setan kau... setan! Pergilah engkau ke neraka jahannam. Biarkan aku sendiri di sini. Tak perlu kau nasehati aku."

"Baik, aku akan pergi. Tapi kau mesti ingat. Kau harus membayangkan bagaimana ibu serta adik-adikmu di kampung. Apakah kau yakin mereka baik-baik saja. Apakah kau tahu pasti apa yang mereka makan."

Jangan-jangan mereka sudah mati kelaparan."

Pemuda itu kini terdiam. Lama, lama baru dia kembali bergerak. Kepalan tinju kemudian tancapkan ke dinding kamar mandi. Dengan yakin dia kemudian meraih rafia yang salah satu ujungnya telah ia ikatkan di kayu plafon. Ujung yang satu ia ikatkan di leher. Kuat, rapat, hingga mencekik.

“Ibu, maafkan anakmu. Tuhan, maafkan atas kesalahanku.”

Pemuda itu kemudian melompat. Tubuh kurusnya dia hempaskan kuat dari bibir bak mandi. Suara berderak gemeretak tulang leher mengawali menggelinjang. Tangannya ia biarkan tak membantu menghentikan lidahnya yang menjulur keluar. Dalam waktu sekian lama kemudian, tubuh pemuda itu lunglai. Ayunannya menjadi lamban, tenang, pelan, pelan, dan akhirnya diam.

Mata mendelik miliknya kini tak lagi terang. Mata itu juga tak mampu membaca tulisan arang hasil karya yang dia ciptakan barusan.

“Tolong Pulangkan Aku Kepangkuan Ibu. Sampaikan maafku untuknya.”

Tidak ada komentar: