Selasa, 23 Desember 2008

Hari Ibu Dengan Tidak Seremoni



Indonesia memperingati Hari Ibu 22 Desember. Pun demikian di Tanjungpinang-Kepri. Peringatan dilakukan secara seremonial. Tapi, ada warna lain pada peringatan itu. Puluhan ibu berunjuk rasa di halaman Kantor Guber, Jalan Basuki Rahmat. Mereka membawa anak mereka mengidap cacat. Disana mereka mengungkapkan penderitaan.

Minggu, 21 Desember 2008

Seloroh


Toilet Unik Bersih

Suatu siang Sabtu (20/12), kami, saya dan beberapa teman, hadir dalam satu sosialisasi mengenai ekonomi yang diadakan BPS Kepulauan Riau. Tapi bukan acara di lantai 6 Hotel Plaza Bintan itu yang saya sampaikan. Ada cerita lain.
Usai mendengarkan paparan dan seabrek wawancara mirip basa-basi, kami pilih menyeduh kopi bermerk panitia. Beberapa memilih tea. Usai itu, satu dari kami menemukan satu lokasi untuk menunggangkannya ke bibir.
"Toilet". Awalnya saya menerka pintu yang disibak teman saya itu adalah pintu keluar dari ruang hotel. Dari pintu itu lantas ada pintu lagi yang mungkin benar-benar toilet. "Ya sudahlah. Aman. Tidak akan tercemar segelas kopi yang saya akan saya nikmati. Tidak bercampur pula nikotin dengan polusi air seni.
Saya menyusul. O, rupanya perkiraan saya salah. Pengelola hotel tidak berbohong. Pintu itu ternyata betul menuju toilet. Beberapa toilet khusus pria (kencing sambil berdiri) teronggok melekat dinding.
Tapi, anehnya saya (mungkin kawan-kawan) ketika itu merasa tidak seperti berada di toilet. Toilet itu unik. Berada di ruang terbuka tepatnya di balkon lantai 6. Cukup aman dari mata-mata mengamati.
Rasa jijik tak ada. Kopi, rokok, dihirup hisap lega. Bersih, itu yang menjadi kata kunci. Saya kemudian berpendapat begini: "Dimana pun kita, asalkan bersih akan baik-baik saja. Begitu juga kita. Biar "lingkungan" kotor, jika kita menjaga bersih, mudah-mudahan akan tetap pula terjaga." (mudah-mudahan pembaca menyetujui).
Demikianlah, entah berapa lama kami bercengkrama riang tertawa di toilet tadi. Sampai-sampai beberapa kawan tidak ingin ketinggalan menikmati kencing di toilet unik bersih. Tak peduli yang lain bercengkrama, atau sembari memegang gelas kopi seperti kawan saya di atas tuh...



Minggu, 14 Desember 2008

Cerpen


Halusinasi Negatif

Oh!” aku tak sanggup menahan suara. Dada menyesak, menggumpal menyumbat kerongkongan. Oh! Air tubuhku seolah pecah. Mengalir melalui pupil, tembus rongga hidung lalu jatuh di bibir. Aduh… anak satu-satunya, hartaku ini mati. Tuhan, kami baru dekat, dia masih sangat lucu. Kenapa tidak saja aku...

Dunia seketika dirasa gelap. Tak berbeda seperti kebiasaannya menyuntikkan putaw ke urat kepala. Sarafnya mengejang lalu tumbang. Ramai pelayat yang datang kemudian sibuk mengangkat. Rambut gondrong ikalnya tergerai terjuntai ke bawah ketika tubuh kerempeng itu diangkat. Marni, istrinya hanya bisa menatap nanar. Matanya merah mengkilap menggenang air. Urat-urat halus memecah retina menembus kebencian terselubung di dadanya.

“Biarkan dia mati bersama anakku. Dia maunya begitu..!”

Marni berteriak. Tangannya mengejang dipegangi ibu-ibu tetangga yang melayat. Dia tetap teriak. Keras makin mengencang. Tidak dia dengar nasehat tetangga kalau kematian anaknya sebuah takdir. Tidak dihiraukan semua ocehan yang masuk ke telinga. Gendang didalamnya menolak. Yang dia tahu kematian anak lelakinya itu semata bukan takdir, bukan pula cobaan. Itu semua karena Bujang.

“Dia sudah tahu anaknya sakit. Yang ia beli bukan obat anaknya. Dasar setan, yang dibelinya malah obat setan. Dasar setan kau Bujang…!”

Marni berteriak bak melolong. Tubuhnya kini menggelepar di lantai. Kerabatnya menangis. Dia macam kerasukan. Berkali-kali kata sabar serta saran beristighfar terucap untuknya. Marni hanya diam. Matanya memutih menatap atap rumah tanpa penghalang.

***

Di malam kematian anaknya. Rumah Bujang sepi. Hanya satu dua tetangga nampak memindahkan bangku plastik dari halaman ditumpuk di teras. Angin bertiup sepoi menurun-naikkan terpal plastik warna biru. Tali nilonnya berketepuk mengencang mengikut arah terpal.

Sore tadi, ruangan rumah sempit di rumah itu ramai orang. Banyak warga yang datang melayat sekaligus membantu mengusung keranda. Anak Bujang dikebumikan di pemakaman umum. Kendati hujan, pengantar tetap setia saja. Marni berdiri di tepian kubur memegangi paying. Kakinya lemah menopang tubuh. Sesekali dia mendekap pundak kakaknya yang berdiri di sebelah. “Anakku…!” katanya menangis.

Lalu dimana Bujang? Dia tidak nampak di antara para warga yang berdiri mengelilingi lubang. Dia pula tidak berada di antara orang-orang berkopiah mengebaskan cangkul memasukkan tanah becek dalam kubur.

“Bujang tidak ikut. Dia da di rumah.” Bisik salah seorang di deretan belakang pengantar jenazah.

Apa yang terjadi sore itu masih diingat Marni. Dia duduk di dalam rumah. Kaki kirinya tersimpuh ditindih kaki sebelah ke arah belakang. Sapu tangan berkali-kali ia seka ke pipi terkadang mengais hidung. Ia masih menangis. Sejak anaknya mati, air itu tidak kering. Terus mengucur keluar dari mata. Di sampingnya, seorang wanita mulai renta tak banyak bicara. Tangannya tak henti mengusap bahu Marni yang mengejang karena dia membungkukkan badan. Emaknya itu turut larut dalam kesedihan.

Setengah jam lalu rumah mereka ramai didatangi tetangga. Surah Yasin dilanjutkan wirid berkumandang. Doa bagi anak dipanjatkan. Semoga yang ditinggalkan diberikan kesabaran tak lupa pula dipintakan. Menjelang Isya, para tetangga meninggalkan pergi satu per satu. “Yang sabar.” Itu kata mereka sebelum ke arah pintu keluar.

Di kamar, Bujang hanya sendiri. Orang-orang lebih berperhatian lebih kepada Marni. Tapi dia tidak peduli. Entah sudah berapa lama dia terduduk di tepian dipan kayu jati yang menjadi saksi malam pengantin. Pandangannya lurus. Tak peduli nyamuk merongrong betis. Tak dihirau pakaiannya bau apek bekas keringat. Bujang larut dalam fantasi. Dia tertawa bergelak. Tubunya seketika dirasa ringan. Sehat benar dirasanya ia saat itu. Dua tombak di hadapan, sekelebat dia melihat anaknya muncul kemudian tersenyum. “O.. kamu tidak mati nak. Kamu hidup lagi.” Bujang balas memberikan senyum. Tangan anak lelakinya yang lembut, lekas dia pegang lalu diayun. Mereka berdua menari diring tetabuhan musik melayu.

“Ayo kita bermain nak. Nanti ibumu menyusul.” Bujang lalu mencipta tarian melingkar. Mulutnya meracau mengucap entah nyanyian apa. Kakinya sedikit demi sedikit diarahkan ke pintu kamar. Bahunya kemudian mendorong pintu berdaun dua. Seketika terang. Tubuh menari mereka membentuk siluet terkena pancaran. Bujang kian kencang membentuk putaran. Kakinya kuat menghentak menapak rumput hijau. Burung berkicau menyambut riang. Embun menetes dari dahan lalu jatuh di genangan kolam. Alam raya kala itu begitu bersih. Langit cerah membiru diselang awan putih. Udara begitu lancar menembus hidung lalu menyeka paru-paru. Mereka berguling di hampar rumput luas. Tubuh Bujang merebah, mengangkat tubuh kecil sang anak. Wajah mereka berhadapan. Dengan senyuman, Pipi halus anaknya kemudian dikecup lembut. Begitu tenang, riang hati Bujang. Tak tahu ia kapan senja kan datang menyuruh mereka pulang.

***

Bulan kian merambat ke atas menggeser waktu malam. Cahayanya menembus dahan membuat bayang pepohonan membias ke atap rumah. Tak ada suara tapak kaki di sepanjang jalur jalan. Jangkrik kian riang bersenandung malam. Rumah Bujang begitu sunyi. Suara tangis pilu dari bibir Marni masih terdengar menyayat dari dalam.

Malam lengang membosankan itu lalu pecah dengan suara wanita serak parau.

“Marni, coba engkau tengok Si Bujang. Dia tertawa-tawa sendiri. Lekaslah.”

Marni Cuma diam mendengar perkataan emaknya. Posisinya tetap semula. Ia hanya menoleh sekjap lalu menangis lagi.

“Biarkan saja mak. Dia sering seperti itu.”

“Eh.. cobalah kau tengok sebentar. Tertawanya aneh. Lekaslah, cepat.”

Marni mengikut saja ketika jemari keriput emaknya mencengkram lengan mengajaknya ke arah kamar. Malas sebetulnya ia. Tapi apa daya, yang memerintah adalah pemilik surga ditelapak kaki. Marni dipaksa beranjak setengah diseret. Di depan pintu, cepat tangan emaknya menyingkap gorden.

“Itu, coba kau lihat.”

Mata Marni dibelalakan masuk ke kamar. Di keremangan, duami dilihat menari. “Ada apa gerangan ini?” Dia kemudian melangkah masuk.

***

Bujang masih asik mahsyuk bergelut dengan anaknya. Bibirnya nakal menjorok pipi bahkan ketiak putra satu-satunya itu. Ia begitu sebahagia anaknya. Tapi, tiba-tiba Bujang menyaksikan perubahan suasana. Rumput yang menghijau berubah coklat. Pepohonan, sura gemercik air, lenyap. Langit yang biru seketika gelap. Anaknya segera bangkit kemudian pergi dan hilang di balik gelap itu.

Bujang langsung bangkit menyibak rambut panjangnya. Bulu menutupi bibir diseka.

Ada apa ini. Kalian merusak kebahagiaanku,” sergahnya kepada istri dan ibu mertuanya.

“Apa kau tidak sadar dengan ucapanmu. Anak kita mati, lalu kau bilang bahagia. Dasar setan!” Marni membalas. Dia benar-benar marah dengan perkataan Bujang.

“Iya, kau perusak. Siapa bilang anak kita mati. Tidakkah kau lihat aku tadi sedang bermain dengan anak kita. Karena kalianlah dia jadi pergi.”

“Memang kamu sudah gila.”

“Ahk, sudahlah. Keluar saja kalian. Aku mau main dengan anakku lagi.”

Dua tubuh wanita di hadapannya didorong keluar. Dengan cepat dan kasarnya Bujang meraih pintu lalu menguncinya. Kembali dia bersenandung menari. Sementara Marni, wanita itu kembali menangis. Di balik pintu ia mengusap batinnya yang nyeri.

***

Matahari masih seperempatan mata ketika terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Orang-orang ramai. Dari yang besar sampai yang kecil beradu kepala di jendela. Wajah mereka dinampak jelas penasaran ingin menyaksikan suara siapa yang mengerang-erang dari dalam.

Di dalam rumah tak kalah pula sesaknya. Rata-rata perangkat warga ada. Pak RT, Pak RW berada di dalam. Begitu pula orang-orang surau. Mereka yang datang belakangan menyaksikan tubuh Bujang dipegang empat sampai lima orang. Sementara didepannya, nampak pria berpenampilan kumal berbaju serba hitam duduk membakar kemenyan.

“Dari tadi malam dia begini.” Ujar Marni menjawab pertanyaan si dukun.

Si dukun itu manggut tetap komat-kamit. Diambilnya air putih segelas kemudian dimasukkan ke mulut. Air itu dikumur-kumur. Ia berdiri.

“Puih. Pergi kau dari sini. Pergilah ke alammu. Kau datang sendiri, maka pergilah sendiri,”

Tiga kali dukun itu menyemprotkan air dari mulutnya. Tangannya cekatan mengusap wajah Bujang yang basah oleh air jampi-jampinya. Bujang tetap saja demikian. Dia tertawa sejadi-jadinya. Tenaganya bahkan makin terhimpun setelah itu. Dua pria yang memegang lengannya di ayun terpental. Dukun mundur ke belakang.

“Saya menyerah. Roh yang merasuki Bujang sangat kuat. Umurnya sudah tua.”

Dukun itu lalu tak berani lagi menatap mata Bujang yang memelototinya. Dia pamit pergi. Sementara orang-orang surau yang diundang datang hanya dapat mengusap dada.

“Bagaimana ini Pak RT. Apalagi yang harus kita perbuat.”

Marni panik. Apalagi sudah tak ada lagi warga yang sanggup dan mau menenangkan Bujang yang masih saja berjingkrak menari tarian zapin.

“Kalian gila menganggap aku gila. Anakku masih hidup. Ini, lihatlah. Dia senang bermain denganku.”

Bujang kembali menari. Tidak dihiraukannya Pak RT berbisik-bisik ke telinga isterinya. Tak lama kemudian Pak RT keluar. Sekejap lalu enam pemuda bertubuh besar masuk. Tangan kekar mereka melipat kaki dan tangan Bujang hingga tak mampu lagi bergerak. Yang dipelasah pun lemas kemudian dibopong ke dalam mobil.

***

“Ke mana aku ini kalian bawa. Di sini tidak nyaman. Aku mau bermain dengan anakku. Bawa kembali aku pulang.”

Bujang berteriak demikian berulang-ulang. Di tempat itu tidak adalagi Marni, mertua atau pun tetangga. Di tempat itu terdengar sunyi. Di hadapannya kini ada beberapa muda-mudi mengenakan seragam serba putih. Yang wanita mengenakan tutup kepala. Warnanya juga putih. Salah satu diantara mereka memegang jarum suntik, menusukkannya ke urat lengan Bujang.

“Bapak tinggal di sini dulu ya. Di sini bapak bisa istirahat.”

Muda-mudi itu kemudian pergi. Bujang kini sendiri. Urat-uratnya dirasa mengendur. Tubuhya lemas. Kedua kaki tangannya terbujur diikat tali serupa kain. Hidup Bujang dirasanya bahagia. Apalagi kala itu anak lelakinya muncul dihadapan dan kembali mengajaknya bermain.

Di mendung Tanjungpinang suatu sore Desember 2008

Senin, 01 Desember 2008

Kisah Heroik Ketua RT

20 Menit Menegangkan
Pak RT Dan Istri Bertarung Melawan Rampok

Sejurus kemudian, sebelah tangan pria bertopeng itu mendorongkan pisaunya ke arah perut. Safari tak mau terluka. Dengan tangan yang sama laju pisau itu ditepis.

Pukul 21.00 WIB, di Dompak Darat suasana sudah sepi. Seperti malam-malam sebelumnya, Safari (32) berniat menutup kedainya. "Tak bakalan ada lagi yang membeli," fikir pria yang diangkat sebagai Ketua RT.4 RW.2 Kelurahan Dompak tersebut.

Sejak enam tahun tinggal di sana, rumah tempat tinggal Safari memang sepi. Rumah di daerah tersebut berjauhan jarak. Rumah terdekat dari tempat Safari tinggal bersama anak-anaknya berjarak 500 meter. Sudah menjadi kebiasaan pada jam tersebut tak ada lagi yang berbelanja ke kedai kelontongnya.

Sebelum menutup kedai, Safari terlebih dahulu memasukkan sepeda motornya ke kedai. Pria asli Dompak Darat itu sudah punya rencana. Usai memasukkan sepeda motor, kerja selanjutnya mematikan mesin jenset yang diandalkan sebagai penerangan.

Pelan sepeda motor kemudian didorong. Belum sampai masuk, ketika dia melihat dua sosok bertutup wajah mendekati. Geraknya cepat. Satu bertubuh cukup besar menggunakan sebo. Seorang lagi yang bertubuh sedikit kurus menjadikan baju kaos supaya wajah tidak dikenal.

"Astaga! Kedua sosok tersebut bersenjata!" Safari membatin.

Keduanya memegang senjata berjenis sama. Sebelah tangan menggenggam broti, tangan lainnya menghunus pisau. Safari terperangah. Tiba-tiba, pria bersebo melayangkan broti ke tubuh Safari. Pak Rt itu menghalau serangan dengan menangkis menggunakan lengan kirinya. Keras, hingga tangannya bergetar, bengkak.

Sejurus kemudian, sebelah tangan pria bertopeng itu mendorongkan pisaunya ke arah perut. Safari tak mau terluka. Dengan tangan yang sama laju pisau itu ditepis. Ibu jarinya terluka. Rupanya, seorang lagi yang bertubuh kurus juga ikut menyerang. Safari diserang menggunakan pisau. Kali ini sasarannya ke arah dada. Sigap Safari mengelak. Tubuh kekarnya lalu dia jatuhkan ke belakang, kemudian tersandar di dinding kedai.

Kali ini, Safari tak dapat bergerak. Dua buah pisau sekaligus bersarang di tubuhnya. Satu di leher, satu lagi di perut. Pisau itu menempel dingin, lalu mendinginkan tubuh Safari. "Jangan bergerak kau. Kalau tidak mati." Rampok mengancam. Tokoh warga setempat itu kini menyerah, diam.


Dalam waktu itu, terdengar teriakan seorang perempuan, Are (28), istri Safari. Dari dalam rumah wanita yang dicintai Safari itu berteriak "Ada apa bang?" Safari tak menjawab. Memang disengaja. Dia tidak ingin istrinya mendekat lalu menjadi korban rampok-rampok tersebut.

Celaka. Seorang rampok bertubuh kurus dihadapannya melepaskan pisau dari perutnya. Pria menggunakan kaos sebagai penutup wajah itu lekas pergi masuk ke rumah Safari. Dia menghampiri istrinya. Safari sangat khawatir dengan hal itu.

Kini, Safari berhadapan dengan hanya satu orang rampok. Keadaan itu lalu dia gunakan sebagai kesempatan. Dia kembali berencana. Melumpuhkan rampok yang mengancamnya dengan pisau itu, lalu menolong istyrinya. Cepat tangan kanan Safari meraih pisau si rampok.

"Tadinya saya ingin meraih tangannya. Tapi yang dapat justru pisau," kata Safari, di Polresta Tanjungpinang, Rabu (26/11) kemarin.

Tak mau rencana gagal, tak ingin dia terluka, Safari melanjutkan perjuangannya. Mata pisau itu dia cengkram erat. Perebutan benda tajam itu berlangsung. Kokoh dengan pendiriannya, Safari lalu memelintir pisau ke arah kanan. "Tak!" pisau dapur itu lalu patah.

Sekarang, si rampok bersebo dihadapannya yang terlihat terdiam. Lalu, dengan gagahnya Safari kemdian menhajarnya. Rampok itu berhasil dia lumpuhkan.

"Saya sempat membuka topengnya (sebo, red). Saya kenal wajahnya. Kepala botak," ujar Safari.

Pria itu kemudian langsung kabur. Dia berlari ke arah temannya yang tadi mengejar Are. Safari lekas juga menyusul. Bukan untuk menangkap si perampok, melainkan mencari tau bagaimana keadaan istrinya. Ah, bukan main leganya ia ketika itu. Selama 20 menit dia bergelut dengan si perampok. Istrinya terselamatkan. Hanya tanganya yang terluka. Rupanya, di saat Safari bertarung melawan si rampok, istrinya juga demikian.

Safari kemudian berusaha mengejar kedua rampok tersebut. Sia-sia. Rampok tersebut kabur menggunakan sepeda motor. Dia lalu berteriak. Usahanya sia-sia juga. Sampai suaranya serak, tak ada seorang pun yang muncul. Selanjutnya, dia baru menyadari punggungnya mengucur darah. Luka menganga cukup panjang.

"Saya tak sadar lagi kapan kenanya," kata Safari menunjukkan luka itu di kantor polisi.

Rabu, 26 November 2008

Minggu, 16 November 2008

Sampah dan Rejeki

Pagi-pagi Endang menggerutu. Plastik isi sampah di samping pintu belakang buyar. Pampers pembungkus kotoran anak terbuka. Sisa sayur, lauk, nasi basi, semuanya jijik berserak. Lantai jadi berminyak, air sari sampah mengental membuat lendir. Bau menyengat masuk hidung.

“Puih, sial! Anjing kurang ajar.” Suara Endang menggerutu. Padahal dia belum tau apakah itu sudah pasti ulah anjing. Bisa saja itu kenakalan kucing. Melihat itu Endang jadi sakit hati. Ia berfikir, semestinya sarannya dulu diikuti suami. Rumah mereka sudah lama diminta dibikin pagar keliling. Selain aman dari maling, aman juga dari serangan fajar binatang bernama anjing dan kucing.

Ide itu sudah diutarakan jauh sebelum mereka menempati rumah yang kontan dibeli. Kejadian macam serupa yang selalu diwanti-wanti. Terbukti, tak lama menghuni, rumah mereka dimasuki maling. Endang takut disantroni lagi. Cepat-cepat semua jendela dan pintu dipasangi terali. Setelah itu, semua oke. Kendala maling dianggap teratasi.

Lewat masalah satu ini, timbul masalah lain lagi. Bunga-bunga kesayanganya. Pada suatu sore, tanah hitam dari bunga-bunga di teras rumah berserak. Mawar dan aneka jenis Anthurium, tegaknya jadi miring. Tanah hitam jadi tempat ayam bermain. Yang bikin keki, ternyata ada tahi kucing. Cuih....

Ending jadi kesal pada sang suami. Uang penghasilan kerja berdua, bukannya disalurkan ke anggaran membangun pagar keliling. Fokusnya malah pada interior. Lantai dikeramik, bagian dalam pokoknya semua dibikin kinclong. Perabot tak juga lupa dilengkapi. Satu alasan yang bisa Endang maklumi. “Kan sehat. Tak ada debu. Enaklah kita menghuni.” Kata suami. Cukup masuk akal untuk diikuti.

Gerutu Endang seketika terhenti. Suaminya didengar gebyar-gebyur mandi. Tak lama lagi, berarti suaminya akan pergi. Lekas ditingalkan saja sampah-sampah tadi. Ada yang lebih penting. Sarapan dan pakaian mesti segera disiapi.

Pada dasarnya Endang tidak takut sama dia punya suami. Pria yang menikahinya dua tahun lalu itu, santun serta baik hati. Tidak seperti dirinya yang punya kebiasaan ngomel setiap hari. Suaminya bertivikal penyabar sekaligus pengertian. Hal itulah yang membuat pasangan ini serasi.

Pernah suatu hari Endang marah besar. Ia kesal karena bunganya rusak lagi. Pelakunya, ya ayam lagi. Kemarahannya ditujukan kepada sang suami. “Ini gara-gara abang. Coba cepat rumah kita dibikin pagar. Mana mungkin ayam-ayam tetangga sialan itu masuk rumah kita. Sekarang lihatlah bunga kesayangan saya.” Tapi suaminya diam saja, cuek. Dan seperti biasa, Endang akhirnya berhenti sendiri.

Sama halnya yang terjadi pagi itu, Endang tak henti-hentinya menggerutu. Suami tetap saja pada perangainya, diam. Endang jadi segan juga. Dia tahu batasan. Sebesar apa pun marahnya, ya cuma itu, ngedumel, tidak lebih. Kendati terbilang ceriwis, Endang dikenal baik. Jiwa sosialnya tinggi. Yang namanya membantu tetangga lagi ditimpa musibah, itu dianggap hal biasa, bahkan kewajiban. Tetangga terkadang dibuat segan.

Kendati ngomel, pekerjaanya menyiapkan sarapan tetap saja jalan. Pakaian sudah disetrika rapih, sudah diletakkan di atas tempat tidur, tinggal dipakai. Pagi itu, Endang lebih memilih sarapan instant. Butuh waktu cepat untuk menyiapkan sarapan agar dia bisa kembali fokus kepada sampah yang tadi berserak. “Sarapan sendiri saja bang. Saya mau beres-beres rumah.” Katanya. Suaminya senyum jawab iya. “Tapi jangan lama-lama lho, abang setengah jam lagi berangkat. “Iya…!”

Endang bergegas. Karuan saja perkataan itu jadi beban fikiran. Tidak lama berarti segera. Ia tak ingin sampah-sampah ditinggal pergi oleh suami. Dia ingin pagi itu juga rumahnya kembali rapih. “Ah, masih banyak sampah di wadah cucian.” Sampah ini tak mau ditinggalkan. Berarti butuh pekerjaan tambahan. “Cuci semua piring dan prabot dapur dulu, kumpulkan sisa makanannya, beres. Suami baru pergi.”

Endang berusaha cepat-cepat mencuci. Piring, sendok, panci, sampai pantat kuali disikat licin. Gratak grutuk semuanya dikerjakan lekas. Ups, samar-samar hape suaminya didengar berbunyi. Padahal pekerjaanya belum lagi siap. Tidak jelas didengar apa pembicaraan sang suami. “Iya pak. Segera!” itu yang hanya menyusup ke telinga. “Wah gawat. Harus lebih cepat.” Tanganya makin ligat berkelebat. Tak peduli lagi kuku patah. Tak peduli gelang emasnya beradu gesek dengan sendok dan sebagainya. “Pokoknya segera. Nanti sampahnya ditinggal.”

Perjuangan Endang mencapai finish tepat ketika suaminya bilang “cepat.” Pekerjaannya tuntas tas tas. Sampah-sampah bekas cucian, dimasukkan dalam mangkuk tirisan. “Sebentar bang, tunggu sampahnya dulu.” Setengah teriak. Disekanya semua sampah dekat pintu belakang yang tadi berserak. Dimasukkannya ke dalam kantong plastik, disusul sampah sisa cuian. “Sudah, sekarang abang boleh berangkat.” Sampah-sampah tadi digantung ke sepada motor, sang suami lantas pergi. Tak lupa sebelumnya cipika cipiki. Endang senyum menyeka keringat basi.

*****

Tiga blok dari kediaman Endang. Edi si penghuni rumah melamun di teras menatap sampah-sampah berserak. Sampah itu barang bekas. Dia sengaja mengumpulkannya sebelum diantar ke agen menerima barang rongsokan apa saja. Plastik, besi bekas, kertas karton, buku, semua telah dipisah. Tidak terpikir bagi pemulung ini untuk memagar rumah. Begitu saja sudahlah. Yang terpenting anak bisa makan, sekolah.

“Aku rasa ini tidak cukup.” Edi menghela nafas cukup panjang. Pagi itu dia kurang gairah. Tidak seperti biasanya, rajin dan cekatan. Biasanya subuh-subuh dia keluar rumah. Menuju bak penampungan sampah sisa rumah tangga perumahan sekitar. Sebelum jam tujuh biasanya dia pulang. Si sulung anaknya diantar ke sekolah.

Belakangan Edi punya masalah keuangan. Istrinya baru sembuh setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Lewat masalah itu, ada masalah baru lagi. Tiga bulan iuran sekolah Sulung belum di bayar. “Guru tagih-tagih terus pak.” Akh, Edi makin pusing. Pandangannya dilepas dari sampah dilempar ke langit. Omongan tagihan sekolah sudah biasa dihadapinya. Tapi yang terakhir ini beda. Runyem. Mereka diberi kesempatan satu minggu untuk melunasi. Jika tidak, Si Sulung dianggap pengurus sekolah tidak layak belajar lagi. Hari itu pas waktu untuk melunaasinya.

Sebenarnya Edi kepingin datang menjumpai wanita tetangga yang disampanya dengan panggilan Bu Endang. “Tapi tidaklah. Malu.” Soalnya utangnya sama Bu Endang masih ada. Biaya pulang istrinya dari rumah sakit saja dari Bu Endang. “Tidak mungkin.”

Edi makin stres. “Kacau.” Dia lalu menghampiri istrinya. “Mak, Sulung hari ini tidak usah sekolah saja.” Istrinya Cuma diam. Sulung disuruh melepas kembali seragam sekolah. Karung dan gancu dimasukkan ke keranjang rotan di belakang motor. Edi pergi.

Di bak sampah dia melamun lagi. Tangannya bekerja, sementara mata dan fikirannya tidak. Hanya gancu yang diayunkan ke onggokan sampah keciprak-keciprok. Padahal suasana di bak sampah itu ramai. Banyak pemulung yang juga mengais rezeki di sana. Sambil bekerja biasanya Edi bercengkrama. “Ah, dari mana aku dapatkan duit.” Lamunnya.

Bagi Edi, keadaan sedemikian ini bukan hal up normal. Tak punya duit itu merupakan hal biasa. Awalnya sebelum nikah saja dia sudah seperti itu. Istrinya selama ini maklum. “Sudah menjadi konsekuensi dinikahi pemulung. Mau bagaimana lagi,” itu kata sang istri. Tapi setelah punya anak, bagi Edi tentu tak sama lagi. Baginya cukup dia yang pemulung. Anaknya tidak. “Jangan sampai bapakmu pemulung, kamu juga jadi pemulung.” Demikian dia selalu memberi nasehat supaya anaknya rajin sekolah.

Takut betul Edi kalau Si Sulung menyamainya. Tidak muluk-muluk sampai kuliah, lulus SMA pun dianggapnya jadilah. Sama, itu yang difikirkanya di bak sampah. Entah berapa lama. Tak dirasa gancu sudah berayun beratus-ratus kali. Tidak disadarinya isi pampers, sisa makanan, dan aneka sampah lainnya memercik ke wajah. Plastik yang digancunya sudah luluh lantak pecah.

“Ups!” Mata Edi terperangah. Ada benda mengkilat panjang diantara sampah-sampah buyar. Diambilnya lekas. Dia macam tak sadar terkesima. Cepat-cepat benda yang rupanya gelang emas itu diselipkan ke saku celana. Matanya lepas ke kanan kiri. Aman, tak ada yang memandang. Raut Edi begitu bahagia. Tak tahu gelang itu punya siapa. Yang penting baginya itu anugerah terindah dari tuhan yang hari itu dia terima. “Tak tahulah, yang penting anakku bisa kembali sekolah.”

****

Sore hari suami Endang pulang ke rumah. Senyumnya sumringah menghantar bungkusan plastik hitam berisi jajanan gorengan. Endang menangkapnya malas. Bibirnya mengatup ditark ke samping atas. Si suami lalu tanya kenapa, "What hapen-ayak naon?" Bibir Endang tetap demikian. Tubuhnya saja yang menggeliat manja. "Anu bang, gelang kesayanganku hilang. Tak tahu kemana." Sumi jawab , apakah sudah dicari. "Sudah. Dari depan sampai belakang, tak ada juga. Malah carinya dari pagi tadi." Suaminya hanya nyeplos gitu saja. "Sudahlah bukan hak kamu lagi. Nanti, kalau ada rezeki, kita beli lagi." Endang jadi riang. Tangannya memeluk tubuh suami manja.


Tanjungpinang, November 2008

Sang Naga Perkasa

Kemahalan PNS

Oleh: Andri Mediansyah

Suara jangkrik bersahut panjang. Angin bertiup dingin di celah dahan. Sejuk. Hawanya menembus jaket tebal Pak Safar. Suara sepeda motor bututnya meraung menembus embun yang mulai turun.

“Ah, sampai juga.” ia berdesah panjang.

Rumah yang ditujunya sepi. Sudah cukup malam, jam sembilan. Lekas Pak Safar memarkir motor. Di dalam rumah, ada yang mengintip dari balik gorden. Lampu neon lalu menyala. Ia menuju teras. Peci hitamnya dibetulkan. Map biru diapit erat di ketiak.

“Assalamualaikum…!”

“Waalaikum salam.” sahut dari dalam.

“Eh, Pak Safar. Masuk Pak. Silahkan. Ada keperluan apa ini?” sambut ahli rumah, ramah.


Pak Safar lebih memilih duduk di teras. Katanya tak mau bikin repot. Di hadapannya, duduk Pak Haji Oong. Dia orang terpandang di kampung. Kaya, pemilik banyak tanah dan usaha.

“Begini pak. Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu istirahat.” memberi pengantar.

“Saya kesini, mau menawarkan tanah milik keluarga kami ke Bapak. Mudah-mudahan Bapak mau dan berminat membeli. Harga bisa kita kompromikan Pak. Tanahnya strategis. Rata di dekat jalan desa. Dulu sudah ada yang menawar. Tapi tidak saya jual. Sayang. Soalnya itu salah satu peninggalan orang tua kami. Luasnya empat hektar. Bagus Pak” kemudian menyerahkan map biru yang sejak Pak Safar duduk diletak di meja.

“Bu.. tolong ambilkan kaca mata bapak.”

Tak lama istrinya datang. Dia sekalian menghidangkan dua gelas teh panas ditambah secuil kue basah. “Silahkan pak, mumpung panas,” ramah kemudian masuk ke dalam.

Lekas teh itu dihirup. Dada yang tadi dingin, kini hangat. Matanya mendelik kea rah Pak Haji Oong yang jeli menyimak kertas berisi denah tanah.

“Maaf, tanahnya belum sertifikat ya Pak? Masih alas hak.”

“Tapi saya tertarik. Rencananya mau dilepas harga berapa?” memotong Pak Safar yang tadi hendak menyela.

“Begini Pak. Seperti saya katakan tadi, saya sebetulnya sayang melepas tanah ini. Karena ada kepentingan mendadak, tanah ini saya jual. Saya tidak berharap lebih. Sesuai kebutuhan saja.” kemudian meletakkan gelas.

“Bilang saja pak. Tidak usah segan. Kan harga nantinya berdasar kesepakatan.”

“Eee.. saya butuh delapan puluh juta pak. Saya rasa harga segitu sudah pantas.”

“Delapan puluh juta ya…!”

“Begini Pak Safar. Saya bukannya memanfaatkan keadaan Bapak. Jadi pertimbangan saya, tanah ini belum ada sertifikat hak milik.”

“Bagaimana kalau enam puluh juta?”

“Bapak tidak mesti menjawab sekarang. Kalau Bapak setuju, besok pagi Bapak ke sini, jual-beli kita proses. Tapi kalau Bapak berfikir untuk mencari orang lain, silahkan. Saya anggap tanah itu bukan jodoh saya.”

Pak Safar menunduk. Diam. Pak Haji Oong kini tidak lagi membahas masalah niaga tanah. Topik beralih keluarga. Menanyakan bagaimana kabar anak-anak, dan kegiatan Pak Safar semenjak pensiun jadi pegawai kelurahan. Obrolan keduanya garing. Pak Safar tidak konsen lantaran memikirkan perbandingan antara delapan puluh juta dan enam puluh juta. Tak lama, ia pamit pulang.

Di rumah istri menyambut. Usai tangannya disujud, Pak safar bergegas menuju kamar. Istrinya menyusul. Diperhatikan Harun, Yahya, dan Salim, anaknya, tertidur lelap di depan teve 14 inchi di ruang keluarga. Ruangan itu salah satu bagian perjalan rumah tangga pak safar. Dulu, saat membangun rumah, ruang itulah yang dia utamakan. Luasnya dibikin lebar dari ruangan lain. Dekorasi diset lebih nyaman agar waktu yang dihabiskan disana lebih terasa. Terngiang ditelinya suara canda mereka anak-beranak. Harmonis. Suara itu lalu hilang, Pak Safar masuk kamar.

“Mana Eka?” kata Pak Safar. Ia meletakkan peci di paku gantungan kemudian melepas pakaian.

“Eka ada di kamar. Belum tidur. Dia masih baca-baca buku. Sarah, Siti di kamar juga. Mungkin sudah tidur.”

“Ini pak, minum dulu.”


Gelas diraih. Airnya ditenggak habis. Pak Safar lalu menyingkap kelambu kemudian berbaring. Lengan kanan diletakkan di dahi. Matanya menerawang.


“Bagaimana Pak. Haji Oong minat beli tanah kita?”

“Iya bu. Tapi beliau mintanya enam puluh juta. Tanah kita belum sertifikat. Bapak katanya disuruh mikir dulu. Kalau kita setuju, besok pagi sanggup dibayar”

“Jadi bagaimana Pak. Kita butuh delapan puluh juta?”

“Tenanglah bu. Kita bicarakan besok pagi saja. Bapak mengantuk”


Suasana lengang. Suara dengkur disambut jangkrik. Sesekali, terdengar pula suara tutup panci dimainkan tikus. Selebihnya senyap. Di bilik, Eka Putra, sulung Pak Safar masih betah duduk di meja belajar. Temannya buku dan lampu neon 5 watt. Kertas halaman tak bosan dibalik ke belakang. Padahal, buku itu sudah lebih tiga kali dibaca. Di meja banyak juga buku-buku. Pengetahuan umum, tes IQ, psiko tes, tertumpuk contoh-contoh soal tes CPNS.


Ia sarjana pertanian dengan predikat cumlaude, sangat memuaskan. Skripsi “Potensi Pengembangan Usaha Pengolahan Ketela Rambat” dihargai nilan “A” oleh dosen penguji. Kendati demikian pekerjaan tak kunjung didapat. Tiga tahun.

Eka cukup merasa tertekan. Terlebih kepada orang tua. Ia diharapkan menjadi tulang punggung ke depan. Adik-adiknya semua sekolah. Sarah masih kuliah. Saudara yang lain pun demikian. Dari SD hingga SMA. Butuh biaya banyak. Ada satu faham yang pernah dianut bapaknya. Pak Safar beranggapan gampang-gampang saja. Yang namanya sarjana, pintar, pasti mudah dapat kerja. Diingat Eka ketika di mobil sewaan ketika pulang wisuda dulu. Si supir memutar lagu iwan fals, Sarjana Muda. Ia sangat terbeban. Dia juga tidak bisa menyalahkan prinsif sang bapak, banyak anak banyak rezeki.


Beban itu kemudian hilang. Eka terlelap di atas tumpukan buku jadi bantal.

*****

Belum siang ketika rumah Pak Safar didatangi orang. Pembahasan soal rencana jual tanah dengan sang istri ditunda. Ia lekas melayani tamu itu.

“Bagaimana yang saya tawarkan pak? Ini waktu sudah mepet. Kalau tidak cepat, saya khawatir jatah bagi anak Bapak diserobot orang. Banyak yang berminat Pak!”

Pak Safar merenung.

“Saya mengerti Pak. Secepatnya akan saya kabarkan.”

Pak Safar termangu di teras rumah. Mata sayu, kening mengkerut. Istrinya menghampiri, lalu mengusap bahu pimpinan keluarga itu.

“Pak… yang sabar ya…!”

“Sepertinya kita memang harus menjual tanah itu bu. Enam puluh juta tidak apa. Kekurangannya akan kita cari lagi.”

Lekas Pak Safar berbenah. Sepeda motor butut miliknya dinyalakan, kemudian tancap gas. Ia ke rumah Haji Oong. Pagi itu juga, tanah dilepas sesuai harga kesepakatan. Sebelum menerima uang, Pak Safar berbicara pelan. Dia minta pinjaman dua puluh juta lagi. “Dalam waktu cepat. Saya berusaha lekas mengembalikannya pak.” Pak Safar berjanji. Haji Oong sejenak terdiam, Pak Safar terus meyakinkan. Sampai akhirnya dia mengangguk. “Iya!”

****

Suatu siang sebulan kemudian….

Rumah Pak Safar begitu gaduh. Dia menepak-nepak dinding rumah, menangis. Istrinya, Eka, menangis. Anak-anaknya yang lain juga ikut-ikutan menangis. Parau kemudian hening. Tak ada yang berbicara. Cuma suara Pak Safar yang bertriak-berteriak: “Ya Tuhan, kenapa begini!” Ia menyesal. Dari pada PNS, lebih baik tanah dan Eka dijadikan modal.

Minggu, 09 November 2008

Aisyah Sulaiman Diselubung Kata

Lampu menyorot ke hanya beberapa titik di panggung. Yang lain gelap. Pun demikian tribun ramai pengunjung. Bias cahaya kuning menyapu wajah pria berusia 65 tahun. Ia berdiri di podium. Rida K Liamsi, matanya terpejam di balik kaca mata. Mulut komat-kamit mengucap sajak. Mulutnya berkatup, tepuk tangan lalu riuh.


"Buku ini, (buku kumpulan sajak berjudul Perjalanan Kelekatu) sudah beredar di Pekanbaru. Belum pernah saya baca. Saya menungggu momen yang tepat. Saya menunggu membacanya di Tanjungpinang ini," ujar Rida K Liamsi sebelum ia berteriak terkadang merintih syahdu membaca sajak-sajak dalam buku karangannya.

Malam itu, Sabtu (8/11) di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman Tanjungpinang, CEO Riau Pos Group itu menjadi penyair terakhir yang tampil. Lima sajak dari buku kumupulan puisi dia baca berurut. Sajak-sajak dari buku kumpulan puisinya yang paling anyar diluncurkan; Di Great Wall, Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Rose Lima, Dan Sejarah Pun Berdarah, serta sajak wajibnya berjudul Tempuling. Sajak-sajak itu memadu diucap diiring alunan musik kontemporer iringan Raja Ahmad Helmi.

Ia nampak bahagia, senang. Kerinduannya membaca puisi terlampiaskan. Sudah lama, sudah 18 tahun dia tidak membaca puisi di kota yang mengawali kesusastraannya, Tanjungpinang. Tidak sekadar membaca sajak, malam itu Rida K Liamsi bereuni. Teman-teman lama, Wakil GUbernur Kepri H M Sani, Mahzumi Daud, dan Tusiran Suseno, datang. Mereka juga berperan membaca puisi.

H M Sani, bangga membaca salah satu sajak Rida K Liamsi, Di Masjidil Haram, Setelah Menara Zamzam. Mahzumi Daud, penyair gondrong berlentera, berteriak lantang membaca puisi karangannya. Ia menepak emosional meja podium.
Lain lagi polah Tusiran Suseno. Ia membawakan puisi parodi. "P", itu judulnya. Luar biasa, penonton bergelak tawa mendengar olahan kata P tadi. Misalnya demikian: Apalah artinya P (saya tak sebut) kalau tak hidup.

Selain tiga nama itu, ada Hasan Aspahani, Ramon Damora, Husnizar Hood, Teja Albab, Lawen Newal, dan Abdul Kadir Ibrahim. Membacakan sajak juga dilakukan Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan, Wakil Bupati Bintan mastur Taher, dan Aida Zulaika, istri Gubernur Kepri Ismeth Abdullah.

Hasan Aspahani, pengelola sejutapuisi.blogspot.com dan pimpinan redaksi Batam Pos ini membawakan satu puisinya berjudul Sungai Yang mengalir di Negeri Kita. Ia sudah membacanya di Jakarta dan Yogyakarta. Pembawaan Hasan membacanya malam itu tegas, santun.

Tak kalah santun pula Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam, Ramon Damora. Dia membawakan sajak tanpa judul. Sebuah hasil karya yang katanya paling religius. Puisi percintaan, tentang hubungan asmara bahkan diucap berhubungan badan. Penonton bertanya bagian mana yang disebut religus. Pemilik kumpulan sajak Bulu Mata Susu ini menjawab di akhir sajak: "Insya Allah nazis". Itu maksudnya religus.

Di panggung Teja Albab membawa dua puisi dari kumpulan sajaknya Sabda Kejora. Sabda Kejora (berisi pesan kepada presidan), dan Akulah Sang Pangeran. Membawakan Akulah Sang Pangeran Teja nampak begitu angkuh. Di puisi buat istrinya itu ia menganggap dirinya bagai lelaki sempurna.

Sementara, Mastur Taher menyajikan sebuh puisi Apa Kata Pahlawan. Puisi karangannya itu mengangkat isyu pro dan kontra terhadap disyahkannya UU Anti Pornografi. Mastur disambut tepuk tangan. Demikian pula Kabag Humas Pemko Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim (Akib). Awal penampilannya mengejutkan penonton. Dia berteriak dari salah satu kursi di tribun. Jeritannya berirama mendayu sambil berarak menuju panggung dan kemudian membawakan dua puisi bernuansa sufistik.

Tak kalah seru Aida Zulaika. Dia bersemangat membawa dua puisi. Satu karangan Rida K Liamsi berjudul Surat Kepada GM, dan sajak karangannya Ahlak Mulia. Suryatati lebih terlihat melankolis. Satu puisi Rida K Liamsi, Asam Paya, ia bawa. Puisi satunya, Walikota Tanjungpinang lalu bernostalgia. Dia menyampaikan kenangan, teringat bapaknya yang begitu senangnya mengantar keberangkatan orang naik haji. Suryatati mengaku teringat di saat dia melepas kontingen haji. Mata Suryatati kala itu memantulkan cahaya air, seolah hendak menangis.

Senin, 27 Oktober 2008

Kecewa Meratap Diri

Senja usiaku kini
Tapi terang tak tau kemana arah
Burung tak lagi berkicau
Sawah kini sepi karena burung pemakan padi telah pulang ke sarang

Angin-angin kala itu kian kencang mengepakkan sayap…
Menerpa pohon, menggoyang dahan
Rambut usangku yang acak tersibak
Pori-pori menggeliat dingin


Tapi aku masih berdiri….
Berdiri di tengah sepi, tegak menatap hampa sunyi


Tak ku sadar hari kian gelap
Sebentar lagi akan gulita
Semestinya aku sudah duduk dekat peraduan ….
Memelintir tasbih, melafas ucapan suci


Tapi aku masih berdiri dalam gelap
Sesat menahan langkah
Bukan tak mau berjalan
Khianat membelengguku…


Sesat menyedot darah tobat
Menarik kerongkongan supaya aku tak bisa berucap astaghfirullah
Jantung dan hati hitamku yang melarang jangan kamu bermunajat
Organku jadi siluman, membuat pilihan berbuat dosa


Aku sekarat ingin pulang
Aku tak ingin berdiri di sini dimakan srigala hutan
Aku tak ingin daging tersayat nista


Biadab…..
Aku tak ingin hanya meratap diri
Aku ingin bertobat, kembali ke Tuhan dengan suciku


Ku berharap badai yang datang
Angin biasa tak ada guna


Awan… Menggumpallah engkau menghitam
Buatlah petir, sambarlah tubuh nistaku dengan kuasamu itu
Sadarkan aku dari lamunan pembawa petaka ini
Hancurkan, pecahkan bongkah batu yang mengerat ditelapakku


Gerakkanlah kakiku berjalan
Cepat…. Aku ingin pulang

Senin, 06 Oktober 2008

Bapak Hamili Anak Tiri


"Teganya Bapak Setubuhi Meski Aku Sakit"

Tubuh dan wajah Delima (nama samaran) nampak tidak sepadan dengan usianya yang 18 tahun. Ia nampak begitu kurus terbaring di salah satu ruang di Pavilium Cempaka RSUD Tanjungpinang. Kulit wajahnya mengkerut karena kurus itu. Kondisnya begitu lemah. Untungnya, janin berusia 4 bulan dalam kandunganya dikabarkan sehat oleh dokter. Bakal bayi itu adalah buah perbuatan Sariono (38). Bapak tiri yang disapanya dengan nama Reok.

Senin (6/10) kemarin, masih nampak jelas trauma di wajah Delima. Ia terlihat depresi dan tidak dapat bercerita banyak. Baik kepada dokter, polisi, atau wartawan. Demikian pula kepada ibu, saudara, bahkan sanak famili yang menungguinya pagi kemarin.Delima hanya dapat terbaring lemas di ranjang pavilum khusus untuk ibu hamil itu. Jarum infus melekat di lengan. Kemeja serta celananya terlihat longgar. Dia sama sekali tidak bersuara saat para medis mengangkatnya ke ranjang tersebut usai diperiksa dokter.

Menurut dokter sepesialis kandungan yang memeriksanya, kondisi lemah Delima diakibatkan kurangnya makanan serta minuman yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu, dia terlalu banyak memiliki beban fikiran.

"Dari hasil pemeriksaan, janin dalam keadaan sehat. Usianya memasuki empat bulan," kata dokter.

Menurut dokter juga, tidak didapati tanda-tanda pemerkosaan dialami korban.

"Bisa jadi persetubuhan dilakukan dalam ancaman," ujar dokter lagi.

Delima dirawat di RSUD Tanjungpinang pagi kemarin. Yang mengantarnya adalah petugas dari Polsekta Tanjungpinang Kota. Sehari sebelumnya, pihak Polsek TPI Kota menerima laporan dari Sl (48), ibu korban. Katanya, Delima telah dicabuli oleh suaminya Sariono alias Reok, yang merupakan bapak tiri dari anaknya.

Dikatakan Sl, sekitar pukul 08.00 WIB pada Minggu (5/10), dia mendapati Delima muntah-muntah di kamar mandi tempat tinggal mereka di Kampung Bugis. Dia awalnya hanya bertanya. Tapi Delima lebih pilih diam. Atas diam itu, Sl lalu berinisiatif mengajaknya ke bidan terdekat.

Setelah diperiksa air kencing (tes urine), ternyata Delima diketahui positif mengandung.
"Siapa yang menghamilimu?" tanya Sl ketika itu. Delima kemudian menjawab. Wajahnya sedikit takut.

"Bapak!" jawab Delima.

Bukan main terkejutnya Sl ketika itu. Dia tidak terima, nyaris pingsan. Pagi itu juga, Sl kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek TPI Kota. Berdasar laporan tersebut, seperti diterangkan Kapolsek TPI Kota AKP Darmawan kemarin, pihaknya kemudian mencari keberadaan Reok.

"Reok langsung kabur saat dia tahu istrinya datang ke kantor polisi. Dia tidak ada di rumah," kata Darmawan.

Setelah melakukan perburuan terhadap Reok, polisi pun akhirnya berhasil membekuk pemulung tersebut. Dia didapati sedang berada di sebuah rumah di Sungai Kecil, Kabupaten Bintan, Senin (6/10) sekitar pukul 01.00 WIB. Kata Kapolsek, Reok telah sempat tiga kali berpindah tempat.

Dari pemeriksaan yang dilakukan polisi, Darmawan mengatakan tersangka mengakui telah mencabuli korban lebih dari 10 kali. Keterangan itu menurutnya tidak senada yang disaampaikan korban. Kepada polisi Delima mengaku, korban disetubuhi lebih dari 20 kali. Kepada polisi Delima juga mengaku pernah digagahi bapak tirinya itu saat dia sedang sakit.
Terhadap Reok, polisi menjeratnya dengan pasal 294 KUHP. Ancamannya 7 tahun penjara.

Sering Ngintip Tidur dan Mandi

Di kantor polisi, Reok mengaku menyesal. Penyesalan itu bahkan disebutnya sudah dirasakannya setiap usai menggagahi anak tirinya.

"Tak tahulah. Mungkin karena saya terpengaruh setan," katanya singkat.

Menurut Reok, pertama kali dia mencabuli Delima pada sekitar bulan April lalu. Petaka terhadap Delima berawal ketika Reok menawarkan memijat tubuh anak yang dia asuh sejak mengawini ibunya 8 tahun silam.

"Dia saat itu mengeluh pegal. Jadi saya pijat," katanya.

Penghuni rumah tempat mereka tinggal berjumlah 4 orang. Delima, Reok, ibu Delima, dan adik tiri Delima berusia 8 tahun. Pengakuan Reok, saat dia memijat Delima itu, suasana rumah sepi. Adik tiri Delima sedang tidur, sedang ibunya pergi bekerja memotong ikan. Pundak Delima yang dalam posisi telungkup mulai dipijat.

Entah setan mana yang menghampiri Reok ketika itu. Setelah sekian lama kemudian, birahinya bangkit. Tubuh Delima kini dia celentangkan. Satu persatu kemudian pakaian anak tirinya itu dia lucuti. Mulai dari pakaian, hingga akhirnya bugil total.

"Dia tidak marah. Dia diam saja," pengakuan Reok.

Dalam keadaan bugil itu, Reok kemudian mencumbui tubuh sensitif Delima.

"Saat itu dia menolak. Ah, katanya. Saya pun pergi," kata Reok lagi.

Dari kejadian itulah Reok kemudian lama kelamaan kian berani. Selang beberapa hari kemudian, dia pun kembali memijat Delima. Untuk ke sekian kalinya "bermain" yang diistilahkan Reok mengajak Delima untuk bersetubuh gagal. Namun, untuk kesekian kali itu dia akhirnya berhasil mencabuli anaknya.

Menurut pengakuan Reok, lebih 10 kali perbuatan bejat itu dia lakukan.

"Siang terus, tak pernah malam. Saya tidak ada mengancam atau memukul. Terakhir, perbuatan itu saya lakukan sehari sebelum puasa. Tidak pernah juga saya gituin dia waktu dia sakit. Kalau sakit, saya memang tahu. Pernah dia saya ajak ke dokter. Tapi dia tidak mau," kata Reok memberi alasan.

Katanya juga, dia sangat menyesal atas perbuatannya itu. Kepergian dia ke Sungai Kecil menurutnya bukan untuk kabur. Melainkan mencari kerja, dan akan kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ditanya perasaan atas perbuatannya mencabuli anak tirinya. Lagi-lagi pria berjambang dan berkumis itu mengaku menyesal.

"Tak tahulah. Mungkin karena saya terangsang sering ngintip dia tidur sama mandi," ujarnya.

Hukum Berat, Bila Perlu Mati Sekalian

Wajah ibu kandung Delima Sl (38) dan salah seorang kakaknya Sm (21) nampak begitu emosi mengenang perbuatan Reok. Terlebih ketika melihat kondisi Delima yang begitu lemahnya.
Diakui Sl, dia sama sekali tidak mengetahui atas perbuatan suaminya selama ini. Dia justru tahu setelah Delima didapatinya muntah-muntah.

"Dia pendiam. Saya tanya kenapa selama ini tidak ngomong, dia bilang takut," kata Sl.

Terhadap kejadian itu, Sl berharap suaminya itu bisa dihukum berat. Terlebih lagi permintaan Sm, kakak kandung Delima. Sm berharap, bapak tiri yang tidak pernah disetujuinya sejak awal menikah dengan ibunya itu bisa dihukum mati.

"Enak-enak saja dia. Sudah dikasih makan, sudah dikasih enak, bikin seperti ini dengan adik saya," kata SM geram.

Terhadap bayi dalam kandungan Delima, Sl mengaku akan merawatnya.

Selasa, 23 September 2008

Seribu cermin Pak Wagub, Cermin Bagi Caleg

Saya cukup tertarik dengan ceritanya Pak Wagub Kepri, H.M Sani soal cermin. Cerita itu dia sampaikan kepada rekan-rekan wartawan di ruang siar RRI Tanjungpinang. Menurut saya ringan, namun syarat makna.

Ceritanya cermin dari pak wagub itu begini, dulu ada putra mahkota bertanya, kenapa dia belum juga diangkat jadi raja. Padahal dia menganggap dirinya sudah layak. Baik dari segi usia, serta wawasan.

Lalu, pertanyaan itu dijawab perdana mentri. Si Putra mahkota diminta baginda raja untuk kembali belajar. Dengan sangat terpaksa, putra mahkota pun menuruti. Dia akhirnya dikirim kepada seorang cerdik pandai yang cukup termahsyur di seantero kerajaan.

Sesampainya di sana, si putera mahkota kembali bercerita tentang keinginannya untuk menjadi raja. Ya, raja. Raja bagi kerajaan yang makmur semasa kepemimpinan bapaknya. Mendengar cerita itu, si cerdik pandai mengkerutkan kening. Dia lalu beranjak, dan kemudian pergi keluar rumah. Sekejab kemudian dia kembali lagi membawa hampir ratusan orang, berikut kereta kuda. Masing-masing kereta berisi cermin. Seluruhnya ada seribu. Si Pangeran lalu bertanya.

"Untuk apa cermin sebanyak ini?" katanya.

Lalu, dengan kelembutan penuh bijak si cerdik pandai menjawab. Ini untuk pangeran. Gunakanlah untuk mencerminkan diri anda paduka. Tiap cermin dapat menunjukkan kekurangan di diri anda. Dengan mengetahui kekurangan itu, mudah-mudahan paduka dapat berintrosfeksi diri mengenali kekurangan yang dimiliki. Tak ada yang tahu kekurangan, selain anda.

Cerita pak wagub itu kemudian mengingatkan saya kepada pesta demokrasi yang kini sedang dalam tahapan. Banyak wajah-wajah terpampang di kain berukuran besar menghiasi sudut jalan. Wajah-wajah mereka penuh semangat, cerah, ramah, sopan, dan senyum sumringah. Mungkin menurut saya, "cermin=introsfeksi diri" dibutuhkan bagi mereka.

Wajah-wajah itu lalu mengingatkan saya kepada tulisan mantan pimpinan redaksi saya di
Posmetro Batam, Hasan Aspahani (semoga sukses selalu). Dalam rubriknya, "pendekar puisi" satu ini berseloroh soal wajah-wajah para calon anggota legislatif yang memanfaatkan (kalau tak khilaf) momen tahun baru buat berkampanye.

Tulisannya ringan namun menurut saya mengundang rasa. Kira-kira yang disampaikannya begini: Kalau ingin tetap diingat dan dikenal, sebaiknya penampilan anda di spanduk jangan berubah sampai masa pemilihan tiba. Kalau di gambar memakai kumis, peliharalah kumis itu.

Disarankannya pula demikian: sebaiknya, peliharalah juga tatanan rambut. Jangan sampai model rambut yang digambar berbeda dengan yang di gambar. Intinya saran tersebut biar masyarakat calon pemilih tetap ingat dengan wajah mereka.

Menurut saya apa kata mantan bos saya ini masuk akal. Di Kota Tanjungpinang saja, tidak sedikit wajah-wajah yang mesti diingat warga. Ada ratusan jumlahnya. Wajah-wajah calon anggota dewan terhormat itu kini kian marak bertebaran. Saya yakin, menjelang lebaran ini pun spanduk-spanduk akan berubah dengan ucapan yang lain. Kembali pada pesan mantan pak bos tadi, biar spanduk diganti, penampilan asli dengan gambar di spanduk tidak berbeda.

Yang saya jumpai, tidak sedikit orang-orang dari partai politik, tokoh masyarakat, sampai ustadz yang biasa mengajar mengaji, begitu kebelet menjadi anggota dewan. Tak jarang dari mereka mulai jaga-jaga prilaku. Menyapa setiap orang dengan ramah, bersikap selembut
mungkin. Bahkan ada pula diantaranya yang tidak segan-segan menyelipkan sedikit kata jangan lupa nomor urut sekian dari partai anu disetiap akhir pembicaraan.

Saya terus terang khawatir dengan pemberitaan di mas media yang pada masa akhir pilkada atau pemilu memberitakan soal meningkatnya kebutuhan akan psikolog. Seperti yang terjadi di Ponorogo belum lama ini. Seorang mantan kandidat bupati Ponorogo tahun 2005 ini nekat mau bunuh diri. Bukan hanya lantaran kalah dalam kancah peperangan pilkada. Dia stres karena hutangnya menumpuk dan tidak mampu mengembalikannya. Hutangnya tidak sedikit, Rp2,4 M.

Itulah kekurangan pak bupati. Dia tidak mendengar cerita cermin dari pak wagub seperti saya.

Senin, 22 September 2008

Hujan Pukulan Ke Tubuh Wartawan

Tanpa perlu menunggu waktu lama bagi Hengky untuk segera beranjak dari tempat duduk. Sabtu (20/9) sekitar pukul 22.00 WIB, stringer RCTI untuk Bintan ini langsung menuju sepeda motor. Bersama beberapa rekan seprofesinya, ia lajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
Yang ada di fikirannya bagaimana mendapat momen bagus dari keributannya dari informasi yang diterima. Mengambil gambar, lalu menghasilkan berita aktual yang menarik disimak pemirsa stasiun televisi swasta tempat ia menjadi stringer. Beberapa rekan yang bersamanya di Batu 9 tadi, ia tinggal cukup jauh di belakang.
Dalam waktu sekejap motor besar yang dia kendarai, tiba yang dimaksud. Informasi yang diterima akurat. Di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Batu 3, Jalan MT Haryono, suasana ketika itu nampak ramai. Mata-mata orang disana tertuju pada sekelompok pria berambut cepak merengsek mendesak seorang pria berpakaian seragam sekuriti.
"Waktu samapai di sana, pas sekuriti sedang dipukuli," kata Hengky.
Otak wartawannya bekerja. Tanpa menunggu lama, ia segera mengeluarkan senjatanya, berupa handycamp dari dalam tas, dan langsung mengarahkannya ke pengeroyokan yang sedang terjadi itu. Tiap adegan dia rekam.
Tapi, Hengky bekerja tidak sampai lama. Beberapa orang kemudian mendekatinya. Sebelum menjadi sasaran amukan, Hengky sempat menjelaskan kalau dirinya adalah wartawan. Tapi, orang-orang emosi yang tida diingat jumlahnya oleh Hengky kemudian menyarangnya.
Pukulan demi pukulan dia terima. Demikian juga dengan tendangan. Menurut Hengky, ketika itu dia benar-benar menjadi bulan-bulanan. Dia mengaku juga diinjak-injak.
Hengky benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Dia bahkan tidak sadar kalau handycamp miliknya hilang. Dia baru menyadarinya setelah pengeroyoknya yang hanya diingatnya berjumlah banyak itu pergi meninggalkannya.
Yang dirasanya saat itu adalah rasa sakit disekujur tubuh. Mata kanannya memerah, dahi dan bawah mata kirinya robek. Sementara mulutunya nyonyor akibat dihujani pukulan.
"Aku tak tahu apa kawan-kawan yang berada dibelakang, melihat (saya dikeroyok). Soalnya mereka cukup jauh tinggal di belakang," ujar Hengky.
Putra, stringer Indosiar yang bersama Hengky berangkat, mengaku tidak sempat menjumpai Hengky dikeroyok. Sesampainya dia di SPBU Batu tiga, suasana memang ramai. Tapi, orang-orang yang mengeroyok Hengky telah pergi.
"Aku tertinggal jauh. Motorku tidak bisa mengejar. Aku tertinggal mulai dari Batu Delapan," kata Putra.
Usai mengalami kejadian tersebut, Hengky kemudian melaporkan kejadian yang dia alami ke Mapolsekta Bukit Bestari. Tak lama di sana, beberapa petugas intel, serta Polisi Militer dari Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Wilayah IV datang. Hengky, Ismail (operator SPBU), dan Udin Syamsudin (petugas sekuriti), dibawa petugas tersebut ke Markas POMAL di Jalan Merdeka, untuk dimintai keterangannya.


*Kejadian yang dialami Hengky bagi saya perlu dijadikan pembelajaran. Tidak menutup kemungkinan bagi saya, dan rekan-rekan jurnalis yang lain akan mengalami hal yang sama. Dia bisa jadi wartawan yang punya harapan mendapatkan pemberitaan yang bagus, gambar yang baik. Kejadian ini bisa menjadi guru untuk kita lebih berhati-hati damal bertugas. Dimana keselamatan diri adalah sesuatu yang tidak bisa dinafikan sesuatu hal yang penting. Dengan selamat, kita bisa menentukan langkah selanjutnya. Membuat laporan, tanpa mengalami cedera.

Kamis, 18 September 2008

Surat Untuk Anakku


Selamat Ulang Tahun Nak…

Setahun lalu, sebelum 19 September 2007, aku belumlah Abi (bapak dalam bahasa Arab). Kasih belum terbagi banyak. Nyaris semua untuk Ummi (Ibu). Setelah tanggal itu, semua berubah nak. Di hari itu kamu yang Abi beri nama Bintang Fajar Ramadhan, lahir. Status, suasana, berubah. Termasuk kasih Abi terhadap Ummi-mu.

Bintang…
Tak hanya kami ingin kau kelak menjadi terang, tinggi
Lebih dari itu, kami ingin kau juga menerangi apa yang ada disekitarmu
Meninggikan orang disekitarmu

Tak terasa menetes air mata ketika kau lahir
Bukan sekedar bangga nak..
Lebih dari itu, kami ingat dosa kami kepada kakek dan nenek mu

Begitu tergambar bagaimana wajah Ummi disaat berjuang melahirkanmu
Keringat berpeluh, wajah begitu padam menahan sakit
Begitu terbayang perasaan yang dirasa kedua orang tua kami dulu

Asa serta cita-cita untuk kami sejak itu terputus sudah
Asa dan cita-cita itu milik mu
Membesarkan mu, membuat kamu terang seperti nama mu…

Besarlah nak
Di usia setahunmu ini kamu sudah bisa berdiri
Kepandaian itu berkat usahamu
Kami hanya membimbing
Demikian untuk nanti-nati

Besarlah nak
Terang, menyongsong hidup, dengan kesucian serta ketulusan
Bintang Fajar Ramadhan

Selamat Ulang Tahun Nak (19 September 2008)

Tanjung Pinang







Tanjungpinang, damai. Bernuansa Melayu. Sebuah kota yang membuat aku jatuh cinta dalam tahun pertama kedatanganku (Juli 2005).

(Sebagian foto karya sahabatku Nurul Iman alias Nyonk.. semoga sukses selalu)