Senin, 25 Mei 2009

refleksi usia 31

Ketika surya tenggelam
adakah esok terbitnya menyapa
ketika jarum jam berdetak
tak mungkin ia memukul ke belakang

coba, coba pandanglah ke cermin
mata itu, gigi itu, rambut itu, kulit itu, tak lg berpihak
usang, usang itu kini dan nanti menjadi sahabat yang menanti

lantas mau apa lagi
siapkan bekal
tanah kian dekat ke hidung
tanah adalah jam, tanah adalah surya tenggelam

Kamis, 14 Mei 2009

Tawadu'


ketika awan menggumpal hitam
dan air laut tumpah
terbang atau menyelamlah
tanya kepada burung
kepada ikan
maknai kenapa

sebelum matahari
lebih menunjukkan kuasanya
serapahlah diri
atau sebisamu buat ia bijaksana

tak perlu kau genggam dunia
cukup merekap
berbaring di pelukan alam
dan cintailah
cintai sang pemilik marah dan cinta

Senin, 23 Maret 2009

Hanya Memuji


"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup
menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

Aku pernah merasakan indahnya cinta dari seorang teman. Terus terang aku banyak belajar dari dia. Tentang bagaimana mengartikan dan memahami kata cinta.

Badrun. Ia teman sejak di semester satu bangku kuliah. Orangnya tampan mempesona. Tubuhnya non kolesterol, asli bentuk atletis. Dia sungguh pandai memainkan kata. Kiasan cinta itu sedemikian rupa dirangkai sehingga indah. Wajar saja jika gadis kampus banyak yang menyukainya. Selama ini, aku hanya bisa bersikap iri di hati yang selama ini ku besar-besarkan saja. Kedengkian menyemut di batin.

Kendati demikian, Si Badrun bukan tipe orang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia sangat tahu bagaimana menjaga perasaan wanita. Mulutnya akan berucap lihai. Para wanita akan terperangah mendengar kata-kata penolakan halusnya.

Tapi, belakangan aku menyadari pribadi Badrun sebenarnya. Bahwa ucapan, kata-kata indah dari mulutnya yang selama ini ku dengar, hanya akan mengalir deras kepada wanita yang tidak disukainya.

Belum lama ini, hati Badrun berpaut kepada mahasiswi fakultas kedokteran. Namanya Ratna. Wajahnya putih berseri laksana mega. Otaknya encer. Itu aku tahu persis. Di papan pengumuman, namanya tertera sebagai peraih IPK tertinggi.

Apa kata Badrun tentang dia: "Apakah kau pernah menyaksikan Paris dari puncak Eifel? Itulah Ratna. Dia begitu indah dipandang. Tapi terlalu jauh untuk aku sampai di sana."

"Lantas, kenapa kau tak terjun saja supaya kau cepat sampai?"

"Kamu tidak mengerti. Tentunya aku tidak mungkin mau mati sia-sia dengan menuruti saranmu itu. Aku perlu alat. Ya, semacam permadani terbang yang bisa mendaratkan tubuh dengan mulus ke pelataran kota."

"Maksudmu?"

"He he he... aku butuh kamu sebagai alatku. Aku mengharap kamu bisa menyampaikan pesan perasaanku kepadanya."

Otak kiri ku makin keras bekerja. Mencoba menyerap apa yang disampaikan Badrun barusan.

"Maksudnya, kau ingin aku datang kepada Ratna, dan memberitahukan kepadanya kalau kau suka dia."

"Yap... tepat. Kau ternyata dapat membaca fikiranku."

"Tapi tidak untuk saat ini. Aku tak ingin main langsung begitu saja. Bertahap, tidak langsung main tembak. Aku ingin Ratna terlebih dahulu mengagumiku. Merasakan sedikit tetesan mata air cinta ini."

Sejenak Badrun menghentikan ucapannya. Berjarak sekitar 100 meter di hadapan, Ratna terlihat berjalan kemudian duduk di bangku kayu terletak di tengah taman. Bias cahaya menerpa wajahnya. Rambut lurusya tersibak menutupi bahunya sebelah.

"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

"Dan coba kau lihat mantel yang dipakainya itu. Oh, andai saja aku terlahir sebagai domba, kan kurelakan si penenun mencukuri bulu-buluku untuk dibuatkan seribu mantel supaya aku selalu dapat menghangatkannya,"

"Tapi kau tak sepenuhnya cinta kepadanya Badrun."

"Siapa bilang? Aku adalah seorang quarterback sejati. Kujaga setiap inci ke incinya rasa cinta ini. Akan banyak hal yang akan menjaga, menjagal setiap yang berusaha meruntuhkan dinding pertahananku. Ya, akan ku jaga meski memang segalanya akan berubah. Akan ku raih kemenangan itu untuknya."

"Tapi engkau quarterback yang bingung harus melempar atau membawa bola hingga mencapai touchdown. Kau tak berpendirian, tak bisa dipakai. Jika kau quarterback sejati, ayo! teroboslah rintangan di hadapanmu. Hantam kemelut malu itu. Langkahkan kakimu berlari. Tapakkan kedua kakimu berdiri di hadapannya."

"Ayolah Badrun, tunjukkanlah rasa itu kepadanya. Sampaikanlah kalimat-kalimat pamungkasmu. Jika kau lupa syair tentang asmara, tak payah soal itu. Cukup kau katakan saja: "Oh Ratna.. Aku mencintaimu".

Tapi Badrun tetaplah dia yang takut kepada wanita yang ia suka. Apa yang ku katakan, baginya bak monster saja. Ia hanya berani menatap, melepaskan pandang kekaguman. Ya, dia laksana pemanah yang tak bisa melepaskan busur ke sasaran. Panah itu diarahkan kepadaku. Dia ingin aku yang melesatkan busur asmara itu.

Sobat, ikatan itu yang membuat aku rela berkata iya akan membantu. Bukan main senangnya Badrun ketika. "Ente memang best friend," katanya. Diraihnya secarik kertas. Tersenyum sumringah bibirnya menorehkan ujung pena ke kertas warna merah muda. Sesekali dia mengernyitkan dahi berfikir entah apa. Aku hanya duduk memandang heran.

"Ini. Tolong engkau sampaikan. Aku tak sabar dia membacanya."

Badrun lantas pergi. Ia nampaka begitu bahagianya. Berjingkrak kecil di jalan beton setapak kampus, lalu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain yang berlagak sibuk. Aku tersenyum. Secarik kertas tanpa nama pengirim yang tadinya dilipat, perlahan ku buka lalu ku baca.

Luar biasa. Sangat sempurna Badrun menggambarkan keindahan Ratna. Kertas itu kembali ku lipat kemudian masuk saku. Sejenak kemudian, aku bersandar di bangku. Wajah Ratna melintas di anganku. Oh, dia memang indah. Indah laksana embun pagi di ujung daun. Kecil, namun hadirnya begitu berarti bagi helai rerumput. Keindahannya juga laksana permata melekat di lengkungan cincin. Ratna, kau memang indah hingga aku tak bisa mengungkapkannya. Andai saja aku bisa melukiskan keindahan Ratna seperti apa yang dilakukan Badrun.

Entah sudah berapa banyak lembaran kertas berisi kata pujangga yang diberikan Badrun kepadaku. Sebanyak jumlah kertas itu pula, aku dan Ratna bertemu. Bercengkrama, bersendagurau, membuat kami kian akrab. Aku merasa intim.

Sementara Badrun, tetaplah sebagai pemuja sejati. Ketika gelak tawa kami pecah di atas bangku taman kampus, Badrun hanya mampu berdiri diantara pokok kayu rindang. Ia hanya berani memandang. Entah di fikirannya apa. Badrun demikian, aku dan Ratna tenggelam, hanyut dalam senda gurau.

"Bagaimana perkembangannya. Apa yang dia katakan tentang surat-surat itu. Sukakah ia. Ayolah cepat kau katakan kepadaku."

"Suka. Ya, dia nampak begitu bahagia larut bersama kata-kata yang kau tulis."

"Terus, apa katanya. Cintakah ia kepadaku?"

"Oh, aku tak tahu soal itu. Bukankah kau bilang bertahap. Bukankah katamu kau akan menembaknya jika Ratna sudah menunjukkan respon."

"Jadi, menurutmu saat ini waktu yang tepat untuk aku menunjukkan siapa sebenarnya aku."

"Iya. Menurutku malah bukan saat ini. Semestinya sedari rasa di hatimu itu muncul."

“Ah, nantilah bro. Aku masih ingin dia menyadari keindahannya dari syair-syairku.”

Demikianlah Badrun. Dia sudah merasa bahagia dengan Ratna mengagumi kata-katanya. Terus terang aku sedih jika mengingat dia. Belakangan dia sudah tidak lagi menuliskan syair terindahnya kepada Ratna. Kata-kata itu, kini terendap dalam di batinnya. Rasa itu sudah dia kubur dalam-dalam. Kata cinta dianggapnya barang najis. Dicampakkan, diinjak-injak laksana sesuatu yang tak berharga.

Dia kini memilih berucap enggan di saat aku mengajaknya berjumpa untuk jalan bersama entah melakukaan aktifitas apalah. Kalau pun mau, aku merasakan sebuah keterpaksaan. Badrun lebih banyak diam. Nyaris tak ada lagi semangat. Bergulir dengan waktu, hubungan kami semakin renggang saja. Hingga akhirnya, antara kami kini sudah tidak terjalin ikatan persahabatan lagi. Entah mengapa, semakin lama Badrun merasa aku sebagai orang asing. Demikian perasaanku kepadanya.

Belum lama ini, aku menyadari mengapa dia sangat-sangat marah. Sebulan yang lalu, dia ternyata sadar jika ternyata syair yang dia rangkai indah di kertas merah muda itu sia-sia belaka. Ratna ternyata meyakini kalan pendekar penyair di kertas itu adalah aku.

Aku merasa sedih harus kehilangan kawan. Aku merasa bersalah kenapa aku tak berterus terang jika ternyata syair-syair indah itu merupakan buah perasaan Badrun.

Jumat, 20 Maret 2009

Kemana Cita-Cita Kami dan Anakku


Tulisan berikut adalah sebuah pengalaman saya menjalankan profesi saya sebagai jurnalis. Armaini, dia seorang ibu yang menurut saya memiliki pengalaman hidup yang getir. Sebuah kenyataan hidup yang mungkin ada di sekitar lingkungan kita. Mudah-mudahan Anda yang saya hormati berkenan membacanya. Mudah-mudahan akan menggugah hati kita sekalian untuk lebih bersemangat melihat lingkungan sosial sekitar kita. Trimakasih:

Air mata Armaini (53), seolah tak henti mengalir. Ia teringat anaknya, Sandi Kurnia (15) yang kini berada di balik jeruji Rumah Tahanan Tanjungpinang. Dia khawatir anaknya berulang kali mengatakan ingin bunuh diri karena takut berada di dalam penjara. Armaini ingin membesuk setiap hari. Tapi apa daya, biaya menjadi kendala.

Airmaini, ibu empat orang anak ini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang letaknya terpencil diantara perumahan warga di Jalan Sunaryo, Gang Pelita RT.03 RW.VIII Tanjungpinang. Di rumah petak berukuran 2x7 meter itu, ia kini tinggal bersama suaminya Samsul Bakhri (55), dan anak bungsu mereka Sandi Kurnia (15) yang kini menunggu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Tiga anak perempuanya sudah tidak tinggal bersama mereka lagi. Mereka telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Armaini merasa cukup ketiga anak perempuannya hanya tamat sekolah dasar dan tingkat pertama. Penghidupan mereka hanya mengandalkan penghasilan dari sang suami yang bekerja penambang pompong.
"Mengharap rezeki macan. Dapat dua puluh ribu sehari, sudah syukur," kata Armaini, Jumat (20/3) siang.
Dengan rezeki "macan" itu, ia menyebut sudah terbiasa jika tak ada lauk yang bisa disantap. Ditambah dengan permasalahan yang kini dihadapinya, daging di tubuh wanita baya itu makin menyusut saja. Dia katanya sakit sejak Sandi, anak bungsu laki-laki satu-satunya itu, dimasukkan ke dalam bui lantaran melakukan pelanggaran lalu lintas.
Pada 4 September 2008 lalu, waktu bulan puasa, Sandi dijemput teman satu sekolahnya di SMP Negeri 8 Tanjungpinang. Sandi dijemput pergi menggunakan sepeda motor. Di tengah jalan Sandi berganti mengendarai. Musibah. Ketika melintas di depan Swalayan Top 10, Jalan Tugu Pahlawan, sepeda motor yang dikendarai Sandi menabrak sepeda motor lain.
Sandi mengenal orang yang ditabraknya. Esa, remaja yang ditabrak itu teman satu sekolah, sekaligus juga teman sepermainan di kampung. Sepeda motor yang dikendarai Sandi rusak. Demikian pula dengan sepeda motor lawannya. Akibat kecelakaan itu, Esa mengalami luka di bagian kepala.
Malam di hari kecelakaan, orang tua beserta kakak-kakak Sandi menemui pihak keluarga Esa. Mereka meminta damai. Kejadian itu diharapkan dilupakan.
Pihak keluarga Esa, seperti dikatakan Surya (23), Kakak Sandi, menyatakan keinginan supaya keluarga mereka peduli memberikan biaya pengobatan serta mengganti biaya kerusakan sepeda motor. Jumlahnya Rp4 juta untuk pengobatan, dan Rp8 juta untuk perbaikan sepeda motor.
"Kami tak sanggup. Dari mana uang sebanyak itu," kata Surya.
Kendati demikian, perdamaian tetap terpenuhi. Perdamaian hanya berdasarkan lisa, tidak disertai pernyataan hitam di atas putih. . Orang tua Sandi pun merasa lega lantaran mereka menganggap masalah telah selesai.
Tapi perkiraan mereka salah. Tanggal 10 September, petugas dari Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Tanjungpinang, datang. Kedua polisi itu membawa Sandi ke kantor mereka di Batu 3 untuk dimintai keterangannya didasarkan laporan yang diberikan oleh orang yang ditabrak Sandi.
Armaini seketika syok. Dia takut anaknya berurusan dengan polisi. Ia sejak itu tak peduli lagi dengan urusan rumah tangga. Dia pun degan setia menunggu Sandi diperiksa. Beban pikirannya makin berat saja manakala polisi menyatakan Sandi harus ditahan.
"Waktu itu saya tak mau pulang. Tak makan tak mengapa. Saya tidur di emperan jalan dekat kantor pak polisi. Saya tak peduli," kata Armaini mengenang.
Armaini hanya mampu bertahan dua hari saja. Ia jatuh sakit. Kondisinya lemah. Di rumah ia terus melamun, menangis, mengingat bagaimana kondisi anaknya. Seminggu kemudian, Sandi dibebaskan. Polisi berbaik hati menangguhkan penahanannya.
Kondisi Armani perlahan membaik sepulang anaknya itu. Ia bahagia. Cita-cita untuk melanjutkan sekolah anaknya, dia bayangkan bisa terwujud. Mereka mendatangi SMP 8 tempat Sandi sekolah. Mereka berharap anaknya itu bisa kembali bisa bersekolah di SMP itu.
Tapi tidak bisa. Sandi sudah terlanjur dikeluarkan. Absensi Sandi banyak keterangan alfa.
"Padahal absennya itu karena dia sakit cacar. Keterangan dokter menyebut Sandi diperbolehkan sekolah sampai dia sembuh," ujar Armaini.
Tak mengapa, toh Armaini dan suaminya beranggapan Sandi bisa bersekolah di sekolah lain. Untuk biaya pendaftaran, Syamsul Bakhri merelakan untuk tidak menonton lagi. Televisi milik mereka, dijual. Uangnya mereka simpan baik-baik menunggu tahun pelajaran baru tiba.
Hari hari pun terus bergulir. Hingga 23 februari lalu, kenyamanan rumah mereka kembali sirna. Dua polisi yang dulu menjemput Sandi, datang lagi dengan maksud tujuan yang sama. Sandi kali ini dijemput untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Sungguh menyakitkan bagi Armaini, Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, dalam surat penetapan nomor PRIN-297/N.10.10.3/Ep.1/02/2009, memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Limbong SH, menahan Sandi. Anak bawah umur itu dititipkan ke Rumah Tahanan Kelas I Tanjungpinang.
Ditemui di ruang kerjanya, Limbong SH menyebut penahanan terhadap Sandi itu prosedural. Alasannya, tidak ada perdamaian antara kedua belah pihak, dan korban berstatus pelajar. Selain itu, ujar Limbong SH, Sandi tidak berstatus sebagai pelajar meski ia masih di bawah umur. Sandi juga disebutnya tidak kooperatif selama menjalani pemeriksaan di kepolisian.
"Alasan itu yang menyebabkan terdakwa harus kita tahan. Jika tidak ditahan, kita khawatir pihak korban akan marah," ujar Limbong.
Sejak ditahan itu, Sandi sudah tiga kali menjalani persidangan. Baru satu kali dia didampingi oleh petugas Balai Pemasyarakatan, sebuah lembaga yang khusus mendampingi anak-anak saat berhadapan dengan hukum. Selama menghadapi masalah itu pula, Sandi tidak mendapat perhatian penuh dari Komisi perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kepri.
Putu Ervina, Ketua KPAID Kepri, mengatakan pernah mendampingi Sandi ketika menjalani pemeriksaan oleh kepolisian meski tidak secara formal. Hanya satu kali itu saja. Selanjutnya, KPAID Kepri tidak mengikuti lagi perkembangan permasalahan hukum yang dihadapi Sandi.
"Kami baru tahu setelah diinformasilkan oleh wartawan. Akan kami follow-up. Pokja Pengaduan kami (KPAID) akan menemui keluarganya," kata Putu, Jumat (20/3).
Setelah menjalani tiga kali persidangan, Kamis (19/3) lalu, Sandi menerima tuntutan. JPU menuntutnya dengan penjara selama 6 bulan. Ia dianggap bersalah melanggar pasal 360 ayat 1 KUHP. Menurut Limbong SH, tuntutan tersebut wajar, bukan berdasarkan pertimbangan pribadi, namun atas pertimbangan atasannya.
Armaini, Samsul Bakhri, Surya, dan saudara-saudaranya yang lain kini hanya bisa pasrah. Mereka kini hanya menunggu vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada persidangan sekali lagi. Armaini, ketika ditemui, mengaku selalu memanjatkan doa dalam shalatnya supaya hakim dapat memutuskan seringan-ringannya untuk anaknya.
Ia menangis. Ia teringat anaknya. Sandi katanya selama ditahan di dalam Rutan, selalu menangis. "Saya tak tega," ujar Armaini mengusap air mata.
Anaknya itu, katanya, bak putus asa. Sudah beberapa kali Sandi menyebut lebih baik mati saja. Dia pernah mengutarakan ingin bunuh diri.
"Anak saya itu suka berfikir macam-macam," katanya.
Sandi menyampaikan ingin setiap hari ditemani, dibesuk di penjara. Dia katanya takut. Armaini mengaku ingin. Tapi apa daya. Dia terkendala biaya. Ia katanya tidak memiliki ongkos serta tak ada sesuatu yang bisa dibawakan untuk anaknya.
"Tolonglah pak.. kami tak tahu berbuat apa," ia menangis lagi. Sandi katanya anak lelaki satu-satunya yang kini diharapkan dapat memperbaiki kehidupan mereka. Sandi disebutnya ingin mereka sekolahkan, dengan segenap daya upaya melanjutkan cita-cita mereka.
"Kami ini orang bodoh. Tak ingin kami anak kami ikut bodoh!"
Wanita itu, wanita bertubuh ceking itu kian larut dalam sedihnya.

Selayaknya Kepri Punya Lapas Anak.
Ketua Pokja Pengaduan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Kepri, Andi Amril, menyebut memang sudah selayaknya Provinsi Kepri memiliki Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
KPAID mengaku memang tidak memiliki data resmi mengenai jumlah anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk mendapatkan angka tersebut, KPAID disebutnya sedang mengupayakannya melalui surat yang dilayangkan kepada Pengadilan Negeri (Batam, Tanjungpinang, dan Karimun).
Untuk Tanjungpinang, katanya, dari data yang didapatkan dari Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, sepanjang tahun 2008 lalu terdapat 13 kasus yang pelakunya berada dibawah umur.
Untuk mengupayakan diadakannya LP khusus Anak, KPAID telah mengusulkan dalam salah satu pasal pada Peraturan Daerah (Perda) yang kini tengah digodok oleh Pemerintah Provinsi Kepri.
Dalam menghadapi permasalahan hukum, kata Andi, anak-anak yang jiwanya rentan, akan mengalami tekanan fsikis yang mengganggu kejiwaannya.
"Mereka masih memiliki hak-hak kesehatan, mendapat perhatian khusus dari orang tua. Saat mereka di penjara, tentu-hak-hak itu hilang," ujar Andi.
Menunggu perda itu terealisasi, lanjut dia, anak-anak bermasalah hukum yang dititipkan di Rutan, semestinya mendapat perlakuan khusus. Mereka tidak boleh dicampur dengan tahanan dewasa, dan mendapatkan bimbingan psikis.
"Ini sangat penting untuk kejiwaan mereka," katanya lagi.
Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas I Tanjungpinag, Oga Darmawan SH, M.Si menyebut pihaknya menyediakan dua ruang khusus bagi anak-anak bermasalah dengan hukum. Hal itu disebut Oga memang terbatas. Bimbingan anak katanya masih mengandalkan petugas Balai Pemasayarakatan.
Anak-anak yang bermasalah dengan hukum tersebut digabung dengan tahanan yang berusia anak dengan klasifikasi mulai dari usia 0 sampai 18 tahun. Mereka tidak dipisah, dicampur dengan tidak memandang jenis kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Oga lalu menyebut ada dua klasifikasi tahanan anak di Rutan, anak pidana dan anak titipan.
"Sudah selayaknya jika diadakan LP khusus anak," katanya.(ame)

Senin, 09 Maret 2009

Tanjung Sebauk




Matahari belum lagi seperempat turun di upuk barat. Siang itu, Minggu (9/3/09), seorang pemuda berjibaku dengan asin laut Tanjung Sebauk, Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Matanya memicing menembus bening air. Sekejab, tangannya yang berpeluh cepat melesat ke dalam air. Satu hewan sebangsa siput sudah berada dicengkramannya. Orang Melayu menyebut hewan itu dengan nama gong gong, hewan yang menjadi makanan khas laut di Tanah Melayu ini.

Sudah hampir dua jam dia melakukan itu. Sudah lebih 100 biji gong gong masuk ke dalam jaring khusus yang sudah disiapkan. "Dapat dua ratus saja sudah cukup," kata pemuda bernama Almi (28) itu. Dengan memperoleh 200 biji gong gong, berarti Almi sudah mengantongi uang Rp50 ribu. Tiap 100 gong gong dia jual seharga Rp25 ribu.

Setelah hasil tangkapannya dirasa cukup, Almi pun lalu beranjak
pulang. Gong gong siap dijual dan kemudian diolah untuk disantap pemburu kuliner di kelong-kelong (restauran laut) yang terdapat di bibir pantai Tanjung Sebauk.(andre)










Jumat, 27 Februari 2009

IBU



ibu
ingatkan kita nama itu
di saat tubuh menggunungkan perut
menyesak dada
membuatnya sulit bergerak
sekalipun merangkak

lembaran daging perutnya
sering kali ditunjang dari dalam
mana ada dia marah
jemarinya penuh kasih membelai
kulit perut seakan kepala

kita mungkin lupa tapi dia melupakan
di saat nyawanya hampir meregang
ketika kita tetap memaksa melihat alam

sakit:
namun tersenyum ia ketika kita menangis
dia mati suri
tapi kita malah merengek meminta tetek

ingatkah kita
ketika sari tubuhnya menyusut
karena selalu kita hisap

ingatkah
ketika waktu-waktunya digadaikan
malamnya jadi siang
siangnya harus gelap

sempit untuknya senggang untuk kita
gelap untuknya terang untuk kita
lapar baginya kenyang buat kita
sedih untuknya bahagia buat kita

ingatkah
air kasih itu terus mengalir
merubah nila menjadi susu
meronakan gelap
menyulap pekat
asanya milik kita
harapannya tak lain kita

ingatkah
ketika sajadahnya basah
menggenang air mata
memuji tuhan namun bukan untuknya
melainkan untuk kita

kini
masih ingatkah kita kepadanya
sang pemilik surga di telapak kaki itu

(26 Februari 2009)

Selasa, 24 Februari 2009

Cerpen: Lonceng Terakhir



Percikan api dari gulungan tembakau tertiup angin masuk ke lipatan keriput mata Pak Kadir. Pria sudah baya itu menggeliat. Matanya memicing perih berair. Mulutnya menganga nyeri mengepulkan asap putih.

“Ha ha ha… Bapak memang sudah tua. Anak api itu tak bisa dinampaki. Padahal dekat sekali dengan bola mata Bapak."

Pak Kadir terbahak. Tangannya mengusap mata yang tadi perih. Dia balas guyon itu dengan senyuman ringan saja.

“Mas Ihsan pandai saja kalau bercanda.”

Mereka kini terbahak bersama di sela tengah malam itu.

Udara mulai terasa dingin. Angin pembawa embun sejuk bertiup menusuk pori-pori. Ihsan melipat ujung jaket beludrunya lalu mendekapkan kedua tangan ke sela ketiak.

“Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan Pak,” katanya.

Pak Kadir mengangguk. Matanya menoleh langit sembari menyalakan korek api membakar sampah, menumpuknya dengan kayu bakar, lalu tak lama jadilah api unggun.

“Saya meminta jangan sampai hujan Mas. Nanti makin enak saja maling bergentayangan,” katanya.

Atas alasan itulah Ihsan dalam sepekan ini menemani Pak Kadir di pos kamling. Tengah malam pekan lalu, perumahan tempat Ihsan tinggal riuh dengan suara dentang benda keras yang diadu dengan tiang listrik. Warga perumahan sudah faham tanda suara itu. Dentang yang ditabuh beruntun dengan tempo cepat tak beraturan, merupakan pemberitahuan tanda bahaya.

Warga di sana lekas keluar rumah. Tak ketinggalan pula Ihsan. Mendengar suara itu, cepat dia turun dari peraduan lalu ligat meraih daun pintu dengan sedikit berlari. Di depan rumahnya dia melihat Pak Kadir berdiri bertolak pinggang mengacungkan pentungan ke arah dua pria yang nampak samar berlari di ujung gerbang lalu menghilang ditelan gelap.

"Ada apa Pak?"
"Tadi saya memergoki dua laki-laki sedang mencongkel jendela samping rumah Mas Ihsan. Mereka bercadar."

Lekas Ihsan melangkah menuju jendela yang ditunjuk Pak Kadir. Daun jendela belum terbuka. Namun, di kusennya jelas dinampaki goresan bekas congkelan benda keras.

"Dia pakai linggis. Yang satu lagi pegang parang,"

Suara itu memecah konsentrasi Ihsan. Ditatapnya Pak Kadir yang berdiri sekitar satu tombak di sampingnya. Nafas pria tua itu didengarnya terengah. Dadanya naik turun sebagai pertanda kalau dia baru saja mengeluarkan tenaga ekstra.

"Tangan Bapak berdarah."
"Tidak kenapa Mas. Cuma goresan kecil."
"Tidak pak. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus diobati,"

Di luar pagar, satu persatu tetangga mulai ramai. Mereka tak perlu bertanya ada apa. Dengan melihat yang Ihsan perbuat serta apa yang dibicarakan dengan Pak Kadir tadi, mereka sudah tahu apa yang terjadi.

"Kita harus melapor polisi," kata Ketua RT kepada Ihsan.
"Iya Pak. Tapi saya harus mengantar Pak Kadir berobat dulu. Lukanya cukup serius. Soal itu, mungkin Saya bisa minta tolong Bapak menelepon teman Saya yang bertugas di Polsek Tanjungpinang Timur. Seingat saya, dia sedang bertugas malam ini."
"Oh iya. Biar saya lakukan. Akan saya kabarkan tentang apa yang terjadi ini."

Ihsan kemudian meminta istrinya mengambilkan hand phone, dompet, serta kunci mobil. Segera dibawanya Pak Kadir ke klinik terdekat setelah sebelumnya memberihan nomor selular milik temannya ke Ketua RT.

Ihsan merasa risau. Tangan Pak kadir makin banyak mengeluarkan darah. Tapi pria tua itu cukup beruntung karena parang pencuri tak sampai memutuskan lengan.

"Lukanya cukup dalam Pak. Tapi tak apa. Dengan sedikit jahitan, luka ini tak lama akan kering," kata perawat yang mengobati Pak Kadir.

Ihsan merasa sedikit lega dengan keterangan itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengobatan, mereka pun pulang.

"Malam ini, Bapak menginap di rumah saya saja. Nanti saya usulkan kepada Pak RT supaya pemuda perumahan kita disiagakan melakukan ronda malam ini."

Pak Kadir mengangguk. "Trimakasih," katanya.

Dari kejauhan, di depan rumah, Ihsan melihat terparkir mobil patroli polisi. Rekan polisi yang dimitanya dihubungi tadi, terlihat bercengkrama bersama Ketua RT dengan ditemani sang istri.

Ihsan dan Pak Kadir disambut meraka. Sementara itu, beberapa petugas polisi lainnya nampak sibuk melakukan proses identifikasi, memoles bubuk hitam ke kusen dan jendela, mencari letak yang dimungkinkan sidik jari si pencuri tertinggal.

Pak Kadir kemudian diperislahkan duduk. Polisi lalu memintai keterangannya. Dia ditanyai soal seperti apa ciri kedua pelaku, sampai bagaimana dia bisa terluka.

"Saya tidak melihat jelas wajahnya. Mereka pakai cadar. Waktu saya pergoki, yang memegang parang itu menyerang saya membabi buta. Parang tadinya dikibaskan ke arah badan. Untung saya sempat menangkis dengan pentungan ini. Tapi tetap saja ujung parang mengenai lengan saya."

Pak kadir bercerita panjang lebar tentang apa saja yang ia ketahui. Tentang apa saja yang dibutuhkan polisi sebagai bahan penyelidikan, sampai bagaimana dia juga berhasil menyarangkan satu pukulan pentungan yang menurutnya mendarat keras ke kepala orang yang melukainya tadi.

"Trimakasih Pak. Kami akan menghubungi Bapak lagi jika ada perkembangan penyelidikan, atau kami akan datang kalau ada keterangan tambahan yang kami butuhkan dari Bapak,"

Petugas kepolisian itu pun kemudian pergi.

"Trimakasih Pak. Bapak sangat berjasa. Tidak dapat saya bayangkan apa yang kemudian terjadi kalau saja kedua orang tadi berhasil masuk ke dalam rumah."

Ihsan kemudian berfikiran macam-macam. Berfikir berbagai kemungkinan andai saja dua maling tadi berhasil masuk rumah. Bisa saja ia dilukai. Bisa saja anak dan istrinya disandera dan....

"Ah, tak perlu sampai berterimakasih Mas. Ini sudah kewajiban saya. Saya diberi upah bulanan oleh warga memang untuk menjaga keamanan perumahan ini."

Ihsan tak berkata apa-apa lagi. Baginya Pak Kadir tetap saja sebagai pahlawan. Pahlawan yang menyelamatkan apa yang dimungkinkannya bisa saja terjadi.

Malam itu, Pak Kadir menginap di rumahnya. Ihsan bahkan mempersilahkan pahlawannya itu untuk tinggal di rumahnya berapa lama saja yang Pak Kadir mau.

Tapi Pak Kadir tidak seperti itu. Pria tua yang terdampar setelah gagal menjadi TKI di Malaysia itu, menyatakan lebih kerasan tinggal di pos kamling yang menjadi rumahnya sejak tiga tahun lalu.

"Saya tidak bisa memaksa Bapak. Tapi, kalaulah Bapak sedianya ingin pulang ke Jawa untuk berkumpul dengan keluarga di sana, saya siap membantu,"
"Trimakasih Mas. Tapi di Jawa saya tidak punya keluarga lagi. Istri saya sudah meninggal. Anak lelaki saya tak tahu sekarang ini dimana. Terakhir, saya dengar dia ada di Malaysia. Jadi pekerja gelap."

Sejak kejadian itulah hubungan Ihsan dan Pak Kadir kian akrab. Setiap malam, setelah ia pulang ke rumah, Ihsan selalu menyempatkan diri menemani Pak Kadir yang selanjutnya memutuskan kembali berjaga malam lagi. Secangkir kopi dan beberapa penganan kecil, sering kali menghantar keduanya mengobrol hingga malam menjadi larut.

Malam itu, angin makin bertiup kencang. Apa yang diramalkan Ihsan, dan apa yang dikhawatirkan Pak Kadir, akhirnya datang juga. Satu perstu rinai hujan turun. Makin lama gemericiknya kian besar saja. Tanah yang tadinya kering kini menjadi becek.

"Hujannya makin lebat Pak. Saya pamit pulang dulu. Malam ini nampaknya akan semakin dingin. Sebaiknya bapak menggunakan pakaian hangat. Satu lagi, hati-hati,"

Ihsan bergegas pergi. Sempat dilihatnya Pak Kadir tersenyum berdiri di pintu pos kamling menghantarnya pulang. Dalam waktu yang tidak lama, Ihsan sampai di rumah. Di dalam kamar, istrinya dilihat sudah terlelap memeluk anak lelaki mereka yang usianya baru 8 bulan. Ia lalu naik ke peraduan. Istrinya terbangun sempat bertanya bagaimana Pak Kadir. Ihsan tersenyum.

"Baik. Tidurlah. Besok abang mesti berangkat pagi-pagi. Di kantor ada meeting," katanya.

Udara dingin itu membuat Ihsan makin mengantuk. Diantara gemericik hujan yang jatuh di atap, ia dengar suara lonceng. Dentangnya dua kali. Dari pos kamling sana, Pak Kadir memberi tahunya saat itu sudah pukul 02.00. Ihsan pun tak lama kemudian larut dalam mimpi buai malam.

*

Pagi-pagi benar Ihsan sudah bangun. Sang istri dilihatnya sibuk di dapur menyiapkan sarapan bagi mereka. Langkahnya ke kamar mandi tiba-tiba terhenti, ketika didengarnya teriakan tergesa seorang pemuda di luar pagar.

"Pak Ihsan...." suara itu terbata memanggilnya. Ihsan melangkah cepat menuju asal suara.

"Pak Kadir...!"
"Ada apa dengan Pak Kadir?"
"Pak Kadir.... dia.... dia...."

Pemuda itu tak dapat berkata lain selain menyebut nama lelaki yang sejak sepekan lalu dianggap Ihsan sebagai pahlawan itu. Dengan terengah-engah, pemuda itu berkali-kali menunjuk ke arah pos kamling.

Tak harus menunggu penjelasan lagi, Ihsan lekas berlari ke arah yang dimaksud. Dilihatnya di sana ramai kerumunan orang. Garis polisi berwarna kuning dilihatnya membentang mengelilingi sosok tubuh tua tertelungkup basah di atas tanah.

Disaksikannya tubuh Pak Kadir bagai jasad tak berguna bersimbah darah. Luka menganga di sana sini. Wajah keriput itu begitu pucat begitu kaku. Ihsan menangis.

"Dia dibunuh. Saya barusan dikabari, salah seorang pelakunya sudah ditangkap. Dia orang yang berhasil dilukai Pak Kadir waktu akan masuk ke rumahmu dulu. Yang sabar. Mudah-mudahan kami berhasil menangkap satu pelaku lain."
"Dimana kamu malam tadi?"

Ihsan kian menangis mendengar keterangan temannya yang polisi itu.

"Oh.... terakhir saya mendengar beliau membunyikan lonceng jam dua pagi tadi,"

(Tanjungpinang, 24 Febuari 2009)