Selasa, 24 Februari 2009

Cerpen: Lonceng Terakhir



Percikan api dari gulungan tembakau tertiup angin masuk ke lipatan keriput mata Pak Kadir. Pria sudah baya itu menggeliat. Matanya memicing perih berair. Mulutnya menganga nyeri mengepulkan asap putih.

“Ha ha ha… Bapak memang sudah tua. Anak api itu tak bisa dinampaki. Padahal dekat sekali dengan bola mata Bapak."

Pak Kadir terbahak. Tangannya mengusap mata yang tadi perih. Dia balas guyon itu dengan senyuman ringan saja.

“Mas Ihsan pandai saja kalau bercanda.”

Mereka kini terbahak bersama di sela tengah malam itu.

Udara mulai terasa dingin. Angin pembawa embun sejuk bertiup menusuk pori-pori. Ihsan melipat ujung jaket beludrunya lalu mendekapkan kedua tangan ke sela ketiak.

“Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan Pak,” katanya.

Pak Kadir mengangguk. Matanya menoleh langit sembari menyalakan korek api membakar sampah, menumpuknya dengan kayu bakar, lalu tak lama jadilah api unggun.

“Saya meminta jangan sampai hujan Mas. Nanti makin enak saja maling bergentayangan,” katanya.

Atas alasan itulah Ihsan dalam sepekan ini menemani Pak Kadir di pos kamling. Tengah malam pekan lalu, perumahan tempat Ihsan tinggal riuh dengan suara dentang benda keras yang diadu dengan tiang listrik. Warga perumahan sudah faham tanda suara itu. Dentang yang ditabuh beruntun dengan tempo cepat tak beraturan, merupakan pemberitahuan tanda bahaya.

Warga di sana lekas keluar rumah. Tak ketinggalan pula Ihsan. Mendengar suara itu, cepat dia turun dari peraduan lalu ligat meraih daun pintu dengan sedikit berlari. Di depan rumahnya dia melihat Pak Kadir berdiri bertolak pinggang mengacungkan pentungan ke arah dua pria yang nampak samar berlari di ujung gerbang lalu menghilang ditelan gelap.

"Ada apa Pak?"
"Tadi saya memergoki dua laki-laki sedang mencongkel jendela samping rumah Mas Ihsan. Mereka bercadar."

Lekas Ihsan melangkah menuju jendela yang ditunjuk Pak Kadir. Daun jendela belum terbuka. Namun, di kusennya jelas dinampaki goresan bekas congkelan benda keras.

"Dia pakai linggis. Yang satu lagi pegang parang,"

Suara itu memecah konsentrasi Ihsan. Ditatapnya Pak Kadir yang berdiri sekitar satu tombak di sampingnya. Nafas pria tua itu didengarnya terengah. Dadanya naik turun sebagai pertanda kalau dia baru saja mengeluarkan tenaga ekstra.

"Tangan Bapak berdarah."
"Tidak kenapa Mas. Cuma goresan kecil."
"Tidak pak. Ini tidak bisa dibiarkan. Bapak harus diobati,"

Di luar pagar, satu persatu tetangga mulai ramai. Mereka tak perlu bertanya ada apa. Dengan melihat yang Ihsan perbuat serta apa yang dibicarakan dengan Pak Kadir tadi, mereka sudah tahu apa yang terjadi.

"Kita harus melapor polisi," kata Ketua RT kepada Ihsan.
"Iya Pak. Tapi saya harus mengantar Pak Kadir berobat dulu. Lukanya cukup serius. Soal itu, mungkin Saya bisa minta tolong Bapak menelepon teman Saya yang bertugas di Polsek Tanjungpinang Timur. Seingat saya, dia sedang bertugas malam ini."
"Oh iya. Biar saya lakukan. Akan saya kabarkan tentang apa yang terjadi ini."

Ihsan kemudian meminta istrinya mengambilkan hand phone, dompet, serta kunci mobil. Segera dibawanya Pak Kadir ke klinik terdekat setelah sebelumnya memberihan nomor selular milik temannya ke Ketua RT.

Ihsan merasa risau. Tangan Pak kadir makin banyak mengeluarkan darah. Tapi pria tua itu cukup beruntung karena parang pencuri tak sampai memutuskan lengan.

"Lukanya cukup dalam Pak. Tapi tak apa. Dengan sedikit jahitan, luka ini tak lama akan kering," kata perawat yang mengobati Pak Kadir.

Ihsan merasa sedikit lega dengan keterangan itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengobatan, mereka pun pulang.

"Malam ini, Bapak menginap di rumah saya saja. Nanti saya usulkan kepada Pak RT supaya pemuda perumahan kita disiagakan melakukan ronda malam ini."

Pak Kadir mengangguk. "Trimakasih," katanya.

Dari kejauhan, di depan rumah, Ihsan melihat terparkir mobil patroli polisi. Rekan polisi yang dimitanya dihubungi tadi, terlihat bercengkrama bersama Ketua RT dengan ditemani sang istri.

Ihsan dan Pak Kadir disambut meraka. Sementara itu, beberapa petugas polisi lainnya nampak sibuk melakukan proses identifikasi, memoles bubuk hitam ke kusen dan jendela, mencari letak yang dimungkinkan sidik jari si pencuri tertinggal.

Pak Kadir kemudian diperislahkan duduk. Polisi lalu memintai keterangannya. Dia ditanyai soal seperti apa ciri kedua pelaku, sampai bagaimana dia bisa terluka.

"Saya tidak melihat jelas wajahnya. Mereka pakai cadar. Waktu saya pergoki, yang memegang parang itu menyerang saya membabi buta. Parang tadinya dikibaskan ke arah badan. Untung saya sempat menangkis dengan pentungan ini. Tapi tetap saja ujung parang mengenai lengan saya."

Pak kadir bercerita panjang lebar tentang apa saja yang ia ketahui. Tentang apa saja yang dibutuhkan polisi sebagai bahan penyelidikan, sampai bagaimana dia juga berhasil menyarangkan satu pukulan pentungan yang menurutnya mendarat keras ke kepala orang yang melukainya tadi.

"Trimakasih Pak. Kami akan menghubungi Bapak lagi jika ada perkembangan penyelidikan, atau kami akan datang kalau ada keterangan tambahan yang kami butuhkan dari Bapak,"

Petugas kepolisian itu pun kemudian pergi.

"Trimakasih Pak. Bapak sangat berjasa. Tidak dapat saya bayangkan apa yang kemudian terjadi kalau saja kedua orang tadi berhasil masuk ke dalam rumah."

Ihsan kemudian berfikiran macam-macam. Berfikir berbagai kemungkinan andai saja dua maling tadi berhasil masuk rumah. Bisa saja ia dilukai. Bisa saja anak dan istrinya disandera dan....

"Ah, tak perlu sampai berterimakasih Mas. Ini sudah kewajiban saya. Saya diberi upah bulanan oleh warga memang untuk menjaga keamanan perumahan ini."

Ihsan tak berkata apa-apa lagi. Baginya Pak Kadir tetap saja sebagai pahlawan. Pahlawan yang menyelamatkan apa yang dimungkinkannya bisa saja terjadi.

Malam itu, Pak Kadir menginap di rumahnya. Ihsan bahkan mempersilahkan pahlawannya itu untuk tinggal di rumahnya berapa lama saja yang Pak Kadir mau.

Tapi Pak Kadir tidak seperti itu. Pria tua yang terdampar setelah gagal menjadi TKI di Malaysia itu, menyatakan lebih kerasan tinggal di pos kamling yang menjadi rumahnya sejak tiga tahun lalu.

"Saya tidak bisa memaksa Bapak. Tapi, kalaulah Bapak sedianya ingin pulang ke Jawa untuk berkumpul dengan keluarga di sana, saya siap membantu,"
"Trimakasih Mas. Tapi di Jawa saya tidak punya keluarga lagi. Istri saya sudah meninggal. Anak lelaki saya tak tahu sekarang ini dimana. Terakhir, saya dengar dia ada di Malaysia. Jadi pekerja gelap."

Sejak kejadian itulah hubungan Ihsan dan Pak Kadir kian akrab. Setiap malam, setelah ia pulang ke rumah, Ihsan selalu menyempatkan diri menemani Pak Kadir yang selanjutnya memutuskan kembali berjaga malam lagi. Secangkir kopi dan beberapa penganan kecil, sering kali menghantar keduanya mengobrol hingga malam menjadi larut.

Malam itu, angin makin bertiup kencang. Apa yang diramalkan Ihsan, dan apa yang dikhawatirkan Pak Kadir, akhirnya datang juga. Satu perstu rinai hujan turun. Makin lama gemericiknya kian besar saja. Tanah yang tadinya kering kini menjadi becek.

"Hujannya makin lebat Pak. Saya pamit pulang dulu. Malam ini nampaknya akan semakin dingin. Sebaiknya bapak menggunakan pakaian hangat. Satu lagi, hati-hati,"

Ihsan bergegas pergi. Sempat dilihatnya Pak Kadir tersenyum berdiri di pintu pos kamling menghantarnya pulang. Dalam waktu yang tidak lama, Ihsan sampai di rumah. Di dalam kamar, istrinya dilihat sudah terlelap memeluk anak lelaki mereka yang usianya baru 8 bulan. Ia lalu naik ke peraduan. Istrinya terbangun sempat bertanya bagaimana Pak Kadir. Ihsan tersenyum.

"Baik. Tidurlah. Besok abang mesti berangkat pagi-pagi. Di kantor ada meeting," katanya.

Udara dingin itu membuat Ihsan makin mengantuk. Diantara gemericik hujan yang jatuh di atap, ia dengar suara lonceng. Dentangnya dua kali. Dari pos kamling sana, Pak Kadir memberi tahunya saat itu sudah pukul 02.00. Ihsan pun tak lama kemudian larut dalam mimpi buai malam.

*

Pagi-pagi benar Ihsan sudah bangun. Sang istri dilihatnya sibuk di dapur menyiapkan sarapan bagi mereka. Langkahnya ke kamar mandi tiba-tiba terhenti, ketika didengarnya teriakan tergesa seorang pemuda di luar pagar.

"Pak Ihsan...." suara itu terbata memanggilnya. Ihsan melangkah cepat menuju asal suara.

"Pak Kadir...!"
"Ada apa dengan Pak Kadir?"
"Pak Kadir.... dia.... dia...."

Pemuda itu tak dapat berkata lain selain menyebut nama lelaki yang sejak sepekan lalu dianggap Ihsan sebagai pahlawan itu. Dengan terengah-engah, pemuda itu berkali-kali menunjuk ke arah pos kamling.

Tak harus menunggu penjelasan lagi, Ihsan lekas berlari ke arah yang dimaksud. Dilihatnya di sana ramai kerumunan orang. Garis polisi berwarna kuning dilihatnya membentang mengelilingi sosok tubuh tua tertelungkup basah di atas tanah.

Disaksikannya tubuh Pak Kadir bagai jasad tak berguna bersimbah darah. Luka menganga di sana sini. Wajah keriput itu begitu pucat begitu kaku. Ihsan menangis.

"Dia dibunuh. Saya barusan dikabari, salah seorang pelakunya sudah ditangkap. Dia orang yang berhasil dilukai Pak Kadir waktu akan masuk ke rumahmu dulu. Yang sabar. Mudah-mudahan kami berhasil menangkap satu pelaku lain."
"Dimana kamu malam tadi?"

Ihsan kian menangis mendengar keterangan temannya yang polisi itu.

"Oh.... terakhir saya mendengar beliau membunyikan lonceng jam dua pagi tadi,"

(Tanjungpinang, 24 Febuari 2009)

Tidak ada komentar: