Senin, 23 Maret 2009

Hanya Memuji


"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup
menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

Aku pernah merasakan indahnya cinta dari seorang teman. Terus terang aku banyak belajar dari dia. Tentang bagaimana mengartikan dan memahami kata cinta.

Badrun. Ia teman sejak di semester satu bangku kuliah. Orangnya tampan mempesona. Tubuhnya non kolesterol, asli bentuk atletis. Dia sungguh pandai memainkan kata. Kiasan cinta itu sedemikian rupa dirangkai sehingga indah. Wajar saja jika gadis kampus banyak yang menyukainya. Selama ini, aku hanya bisa bersikap iri di hati yang selama ini ku besar-besarkan saja. Kedengkian menyemut di batin.

Kendati demikian, Si Badrun bukan tipe orang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ia sangat tahu bagaimana menjaga perasaan wanita. Mulutnya akan berucap lihai. Para wanita akan terperangah mendengar kata-kata penolakan halusnya.

Tapi, belakangan aku menyadari pribadi Badrun sebenarnya. Bahwa ucapan, kata-kata indah dari mulutnya yang selama ini ku dengar, hanya akan mengalir deras kepada wanita yang tidak disukainya.

Belum lama ini, hati Badrun berpaut kepada mahasiswi fakultas kedokteran. Namanya Ratna. Wajahnya putih berseri laksana mega. Otaknya encer. Itu aku tahu persis. Di papan pengumuman, namanya tertera sebagai peraih IPK tertinggi.

Apa kata Badrun tentang dia: "Apakah kau pernah menyaksikan Paris dari puncak Eifel? Itulah Ratna. Dia begitu indah dipandang. Tapi terlalu jauh untuk aku sampai di sana."

"Lantas, kenapa kau tak terjun saja supaya kau cepat sampai?"

"Kamu tidak mengerti. Tentunya aku tidak mungkin mau mati sia-sia dengan menuruti saranmu itu. Aku perlu alat. Ya, semacam permadani terbang yang bisa mendaratkan tubuh dengan mulus ke pelataran kota."

"Maksudmu?"

"He he he... aku butuh kamu sebagai alatku. Aku mengharap kamu bisa menyampaikan pesan perasaanku kepadanya."

Otak kiri ku makin keras bekerja. Mencoba menyerap apa yang disampaikan Badrun barusan.

"Maksudnya, kau ingin aku datang kepada Ratna, dan memberitahukan kepadanya kalau kau suka dia."

"Yap... tepat. Kau ternyata dapat membaca fikiranku."

"Tapi tidak untuk saat ini. Aku tak ingin main langsung begitu saja. Bertahap, tidak langsung main tembak. Aku ingin Ratna terlebih dahulu mengagumiku. Merasakan sedikit tetesan mata air cinta ini."

Sejenak Badrun menghentikan ucapannya. Berjarak sekitar 100 meter di hadapan, Ratna terlihat berjalan kemudian duduk di bangku kayu terletak di tengah taman. Bias cahaya menerpa wajahnya. Rambut lurusya tersibak menutupi bahunya sebelah.

"Oh lihatlah... lihat dia yang sedang duduk bersandar di kursi itu. Aku rela jika ditakdirkan hidup menjadi pohon, kemudian dibelah menjadi papan untuk bahan dinding kursi yang dia duduki. Aku ingin merasakan nyaman menopang bahunya, mencium aroma harum rambutnya, mengusap halus kulitnya."

"Dan coba kau lihat mantel yang dipakainya itu. Oh, andai saja aku terlahir sebagai domba, kan kurelakan si penenun mencukuri bulu-buluku untuk dibuatkan seribu mantel supaya aku selalu dapat menghangatkannya,"

"Tapi kau tak sepenuhnya cinta kepadanya Badrun."

"Siapa bilang? Aku adalah seorang quarterback sejati. Kujaga setiap inci ke incinya rasa cinta ini. Akan banyak hal yang akan menjaga, menjagal setiap yang berusaha meruntuhkan dinding pertahananku. Ya, akan ku jaga meski memang segalanya akan berubah. Akan ku raih kemenangan itu untuknya."

"Tapi engkau quarterback yang bingung harus melempar atau membawa bola hingga mencapai touchdown. Kau tak berpendirian, tak bisa dipakai. Jika kau quarterback sejati, ayo! teroboslah rintangan di hadapanmu. Hantam kemelut malu itu. Langkahkan kakimu berlari. Tapakkan kedua kakimu berdiri di hadapannya."

"Ayolah Badrun, tunjukkanlah rasa itu kepadanya. Sampaikanlah kalimat-kalimat pamungkasmu. Jika kau lupa syair tentang asmara, tak payah soal itu. Cukup kau katakan saja: "Oh Ratna.. Aku mencintaimu".

Tapi Badrun tetaplah dia yang takut kepada wanita yang ia suka. Apa yang ku katakan, baginya bak monster saja. Ia hanya berani menatap, melepaskan pandang kekaguman. Ya, dia laksana pemanah yang tak bisa melepaskan busur ke sasaran. Panah itu diarahkan kepadaku. Dia ingin aku yang melesatkan busur asmara itu.

Sobat, ikatan itu yang membuat aku rela berkata iya akan membantu. Bukan main senangnya Badrun ketika. "Ente memang best friend," katanya. Diraihnya secarik kertas. Tersenyum sumringah bibirnya menorehkan ujung pena ke kertas warna merah muda. Sesekali dia mengernyitkan dahi berfikir entah apa. Aku hanya duduk memandang heran.

"Ini. Tolong engkau sampaikan. Aku tak sabar dia membacanya."

Badrun lantas pergi. Ia nampaka begitu bahagianya. Berjingkrak kecil di jalan beton setapak kampus, lalu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain yang berlagak sibuk. Aku tersenyum. Secarik kertas tanpa nama pengirim yang tadinya dilipat, perlahan ku buka lalu ku baca.

Luar biasa. Sangat sempurna Badrun menggambarkan keindahan Ratna. Kertas itu kembali ku lipat kemudian masuk saku. Sejenak kemudian, aku bersandar di bangku. Wajah Ratna melintas di anganku. Oh, dia memang indah. Indah laksana embun pagi di ujung daun. Kecil, namun hadirnya begitu berarti bagi helai rerumput. Keindahannya juga laksana permata melekat di lengkungan cincin. Ratna, kau memang indah hingga aku tak bisa mengungkapkannya. Andai saja aku bisa melukiskan keindahan Ratna seperti apa yang dilakukan Badrun.

Entah sudah berapa banyak lembaran kertas berisi kata pujangga yang diberikan Badrun kepadaku. Sebanyak jumlah kertas itu pula, aku dan Ratna bertemu. Bercengkrama, bersendagurau, membuat kami kian akrab. Aku merasa intim.

Sementara Badrun, tetaplah sebagai pemuja sejati. Ketika gelak tawa kami pecah di atas bangku taman kampus, Badrun hanya mampu berdiri diantara pokok kayu rindang. Ia hanya berani memandang. Entah di fikirannya apa. Badrun demikian, aku dan Ratna tenggelam, hanyut dalam senda gurau.

"Bagaimana perkembangannya. Apa yang dia katakan tentang surat-surat itu. Sukakah ia. Ayolah cepat kau katakan kepadaku."

"Suka. Ya, dia nampak begitu bahagia larut bersama kata-kata yang kau tulis."

"Terus, apa katanya. Cintakah ia kepadaku?"

"Oh, aku tak tahu soal itu. Bukankah kau bilang bertahap. Bukankah katamu kau akan menembaknya jika Ratna sudah menunjukkan respon."

"Jadi, menurutmu saat ini waktu yang tepat untuk aku menunjukkan siapa sebenarnya aku."

"Iya. Menurutku malah bukan saat ini. Semestinya sedari rasa di hatimu itu muncul."

“Ah, nantilah bro. Aku masih ingin dia menyadari keindahannya dari syair-syairku.”

Demikianlah Badrun. Dia sudah merasa bahagia dengan Ratna mengagumi kata-katanya. Terus terang aku sedih jika mengingat dia. Belakangan dia sudah tidak lagi menuliskan syair terindahnya kepada Ratna. Kata-kata itu, kini terendap dalam di batinnya. Rasa itu sudah dia kubur dalam-dalam. Kata cinta dianggapnya barang najis. Dicampakkan, diinjak-injak laksana sesuatu yang tak berharga.

Dia kini memilih berucap enggan di saat aku mengajaknya berjumpa untuk jalan bersama entah melakukaan aktifitas apalah. Kalau pun mau, aku merasakan sebuah keterpaksaan. Badrun lebih banyak diam. Nyaris tak ada lagi semangat. Bergulir dengan waktu, hubungan kami semakin renggang saja. Hingga akhirnya, antara kami kini sudah tidak terjalin ikatan persahabatan lagi. Entah mengapa, semakin lama Badrun merasa aku sebagai orang asing. Demikian perasaanku kepadanya.

Belum lama ini, aku menyadari mengapa dia sangat-sangat marah. Sebulan yang lalu, dia ternyata sadar jika ternyata syair yang dia rangkai indah di kertas merah muda itu sia-sia belaka. Ratna ternyata meyakini kalan pendekar penyair di kertas itu adalah aku.

Aku merasa sedih harus kehilangan kawan. Aku merasa bersalah kenapa aku tak berterus terang jika ternyata syair-syair indah itu merupakan buah perasaan Badrun.

Tidak ada komentar: