Jumat, 20 Maret 2009

Kemana Cita-Cita Kami dan Anakku


Tulisan berikut adalah sebuah pengalaman saya menjalankan profesi saya sebagai jurnalis. Armaini, dia seorang ibu yang menurut saya memiliki pengalaman hidup yang getir. Sebuah kenyataan hidup yang mungkin ada di sekitar lingkungan kita. Mudah-mudahan Anda yang saya hormati berkenan membacanya. Mudah-mudahan akan menggugah hati kita sekalian untuk lebih bersemangat melihat lingkungan sosial sekitar kita. Trimakasih:

Air mata Armaini (53), seolah tak henti mengalir. Ia teringat anaknya, Sandi Kurnia (15) yang kini berada di balik jeruji Rumah Tahanan Tanjungpinang. Dia khawatir anaknya berulang kali mengatakan ingin bunuh diri karena takut berada di dalam penjara. Armaini ingin membesuk setiap hari. Tapi apa daya, biaya menjadi kendala.

Airmaini, ibu empat orang anak ini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang letaknya terpencil diantara perumahan warga di Jalan Sunaryo, Gang Pelita RT.03 RW.VIII Tanjungpinang. Di rumah petak berukuran 2x7 meter itu, ia kini tinggal bersama suaminya Samsul Bakhri (55), dan anak bungsu mereka Sandi Kurnia (15) yang kini menunggu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Tiga anak perempuanya sudah tidak tinggal bersama mereka lagi. Mereka telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Armaini merasa cukup ketiga anak perempuannya hanya tamat sekolah dasar dan tingkat pertama. Penghidupan mereka hanya mengandalkan penghasilan dari sang suami yang bekerja penambang pompong.
"Mengharap rezeki macan. Dapat dua puluh ribu sehari, sudah syukur," kata Armaini, Jumat (20/3) siang.
Dengan rezeki "macan" itu, ia menyebut sudah terbiasa jika tak ada lauk yang bisa disantap. Ditambah dengan permasalahan yang kini dihadapinya, daging di tubuh wanita baya itu makin menyusut saja. Dia katanya sakit sejak Sandi, anak bungsu laki-laki satu-satunya itu, dimasukkan ke dalam bui lantaran melakukan pelanggaran lalu lintas.
Pada 4 September 2008 lalu, waktu bulan puasa, Sandi dijemput teman satu sekolahnya di SMP Negeri 8 Tanjungpinang. Sandi dijemput pergi menggunakan sepeda motor. Di tengah jalan Sandi berganti mengendarai. Musibah. Ketika melintas di depan Swalayan Top 10, Jalan Tugu Pahlawan, sepeda motor yang dikendarai Sandi menabrak sepeda motor lain.
Sandi mengenal orang yang ditabraknya. Esa, remaja yang ditabrak itu teman satu sekolah, sekaligus juga teman sepermainan di kampung. Sepeda motor yang dikendarai Sandi rusak. Demikian pula dengan sepeda motor lawannya. Akibat kecelakaan itu, Esa mengalami luka di bagian kepala.
Malam di hari kecelakaan, orang tua beserta kakak-kakak Sandi menemui pihak keluarga Esa. Mereka meminta damai. Kejadian itu diharapkan dilupakan.
Pihak keluarga Esa, seperti dikatakan Surya (23), Kakak Sandi, menyatakan keinginan supaya keluarga mereka peduli memberikan biaya pengobatan serta mengganti biaya kerusakan sepeda motor. Jumlahnya Rp4 juta untuk pengobatan, dan Rp8 juta untuk perbaikan sepeda motor.
"Kami tak sanggup. Dari mana uang sebanyak itu," kata Surya.
Kendati demikian, perdamaian tetap terpenuhi. Perdamaian hanya berdasarkan lisa, tidak disertai pernyataan hitam di atas putih. . Orang tua Sandi pun merasa lega lantaran mereka menganggap masalah telah selesai.
Tapi perkiraan mereka salah. Tanggal 10 September, petugas dari Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Tanjungpinang, datang. Kedua polisi itu membawa Sandi ke kantor mereka di Batu 3 untuk dimintai keterangannya didasarkan laporan yang diberikan oleh orang yang ditabrak Sandi.
Armaini seketika syok. Dia takut anaknya berurusan dengan polisi. Ia sejak itu tak peduli lagi dengan urusan rumah tangga. Dia pun degan setia menunggu Sandi diperiksa. Beban pikirannya makin berat saja manakala polisi menyatakan Sandi harus ditahan.
"Waktu itu saya tak mau pulang. Tak makan tak mengapa. Saya tidur di emperan jalan dekat kantor pak polisi. Saya tak peduli," kata Armaini mengenang.
Armaini hanya mampu bertahan dua hari saja. Ia jatuh sakit. Kondisinya lemah. Di rumah ia terus melamun, menangis, mengingat bagaimana kondisi anaknya. Seminggu kemudian, Sandi dibebaskan. Polisi berbaik hati menangguhkan penahanannya.
Kondisi Armani perlahan membaik sepulang anaknya itu. Ia bahagia. Cita-cita untuk melanjutkan sekolah anaknya, dia bayangkan bisa terwujud. Mereka mendatangi SMP 8 tempat Sandi sekolah. Mereka berharap anaknya itu bisa kembali bisa bersekolah di SMP itu.
Tapi tidak bisa. Sandi sudah terlanjur dikeluarkan. Absensi Sandi banyak keterangan alfa.
"Padahal absennya itu karena dia sakit cacar. Keterangan dokter menyebut Sandi diperbolehkan sekolah sampai dia sembuh," ujar Armaini.
Tak mengapa, toh Armaini dan suaminya beranggapan Sandi bisa bersekolah di sekolah lain. Untuk biaya pendaftaran, Syamsul Bakhri merelakan untuk tidak menonton lagi. Televisi milik mereka, dijual. Uangnya mereka simpan baik-baik menunggu tahun pelajaran baru tiba.
Hari hari pun terus bergulir. Hingga 23 februari lalu, kenyamanan rumah mereka kembali sirna. Dua polisi yang dulu menjemput Sandi, datang lagi dengan maksud tujuan yang sama. Sandi kali ini dijemput untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Sungguh menyakitkan bagi Armaini, Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, dalam surat penetapan nomor PRIN-297/N.10.10.3/Ep.1/02/2009, memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Limbong SH, menahan Sandi. Anak bawah umur itu dititipkan ke Rumah Tahanan Kelas I Tanjungpinang.
Ditemui di ruang kerjanya, Limbong SH menyebut penahanan terhadap Sandi itu prosedural. Alasannya, tidak ada perdamaian antara kedua belah pihak, dan korban berstatus pelajar. Selain itu, ujar Limbong SH, Sandi tidak berstatus sebagai pelajar meski ia masih di bawah umur. Sandi juga disebutnya tidak kooperatif selama menjalani pemeriksaan di kepolisian.
"Alasan itu yang menyebabkan terdakwa harus kita tahan. Jika tidak ditahan, kita khawatir pihak korban akan marah," ujar Limbong.
Sejak ditahan itu, Sandi sudah tiga kali menjalani persidangan. Baru satu kali dia didampingi oleh petugas Balai Pemasyarakatan, sebuah lembaga yang khusus mendampingi anak-anak saat berhadapan dengan hukum. Selama menghadapi masalah itu pula, Sandi tidak mendapat perhatian penuh dari Komisi perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kepri.
Putu Ervina, Ketua KPAID Kepri, mengatakan pernah mendampingi Sandi ketika menjalani pemeriksaan oleh kepolisian meski tidak secara formal. Hanya satu kali itu saja. Selanjutnya, KPAID Kepri tidak mengikuti lagi perkembangan permasalahan hukum yang dihadapi Sandi.
"Kami baru tahu setelah diinformasilkan oleh wartawan. Akan kami follow-up. Pokja Pengaduan kami (KPAID) akan menemui keluarganya," kata Putu, Jumat (20/3).
Setelah menjalani tiga kali persidangan, Kamis (19/3) lalu, Sandi menerima tuntutan. JPU menuntutnya dengan penjara selama 6 bulan. Ia dianggap bersalah melanggar pasal 360 ayat 1 KUHP. Menurut Limbong SH, tuntutan tersebut wajar, bukan berdasarkan pertimbangan pribadi, namun atas pertimbangan atasannya.
Armaini, Samsul Bakhri, Surya, dan saudara-saudaranya yang lain kini hanya bisa pasrah. Mereka kini hanya menunggu vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada persidangan sekali lagi. Armaini, ketika ditemui, mengaku selalu memanjatkan doa dalam shalatnya supaya hakim dapat memutuskan seringan-ringannya untuk anaknya.
Ia menangis. Ia teringat anaknya. Sandi katanya selama ditahan di dalam Rutan, selalu menangis. "Saya tak tega," ujar Armaini mengusap air mata.
Anaknya itu, katanya, bak putus asa. Sudah beberapa kali Sandi menyebut lebih baik mati saja. Dia pernah mengutarakan ingin bunuh diri.
"Anak saya itu suka berfikir macam-macam," katanya.
Sandi menyampaikan ingin setiap hari ditemani, dibesuk di penjara. Dia katanya takut. Armaini mengaku ingin. Tapi apa daya. Dia terkendala biaya. Ia katanya tidak memiliki ongkos serta tak ada sesuatu yang bisa dibawakan untuk anaknya.
"Tolonglah pak.. kami tak tahu berbuat apa," ia menangis lagi. Sandi katanya anak lelaki satu-satunya yang kini diharapkan dapat memperbaiki kehidupan mereka. Sandi disebutnya ingin mereka sekolahkan, dengan segenap daya upaya melanjutkan cita-cita mereka.
"Kami ini orang bodoh. Tak ingin kami anak kami ikut bodoh!"
Wanita itu, wanita bertubuh ceking itu kian larut dalam sedihnya.

Selayaknya Kepri Punya Lapas Anak.
Ketua Pokja Pengaduan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Kepri, Andi Amril, menyebut memang sudah selayaknya Provinsi Kepri memiliki Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
KPAID mengaku memang tidak memiliki data resmi mengenai jumlah anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk mendapatkan angka tersebut, KPAID disebutnya sedang mengupayakannya melalui surat yang dilayangkan kepada Pengadilan Negeri (Batam, Tanjungpinang, dan Karimun).
Untuk Tanjungpinang, katanya, dari data yang didapatkan dari Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, sepanjang tahun 2008 lalu terdapat 13 kasus yang pelakunya berada dibawah umur.
Untuk mengupayakan diadakannya LP khusus Anak, KPAID telah mengusulkan dalam salah satu pasal pada Peraturan Daerah (Perda) yang kini tengah digodok oleh Pemerintah Provinsi Kepri.
Dalam menghadapi permasalahan hukum, kata Andi, anak-anak yang jiwanya rentan, akan mengalami tekanan fsikis yang mengganggu kejiwaannya.
"Mereka masih memiliki hak-hak kesehatan, mendapat perhatian khusus dari orang tua. Saat mereka di penjara, tentu-hak-hak itu hilang," ujar Andi.
Menunggu perda itu terealisasi, lanjut dia, anak-anak bermasalah hukum yang dititipkan di Rutan, semestinya mendapat perlakuan khusus. Mereka tidak boleh dicampur dengan tahanan dewasa, dan mendapatkan bimbingan psikis.
"Ini sangat penting untuk kejiwaan mereka," katanya lagi.
Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Kelas I Tanjungpinag, Oga Darmawan SH, M.Si menyebut pihaknya menyediakan dua ruang khusus bagi anak-anak bermasalah dengan hukum. Hal itu disebut Oga memang terbatas. Bimbingan anak katanya masih mengandalkan petugas Balai Pemasayarakatan.
Anak-anak yang bermasalah dengan hukum tersebut digabung dengan tahanan yang berusia anak dengan klasifikasi mulai dari usia 0 sampai 18 tahun. Mereka tidak dipisah, dicampur dengan tidak memandang jenis kejahatan atau pelanggaran yang mereka lakukan. Oga lalu menyebut ada dua klasifikasi tahanan anak di Rutan, anak pidana dan anak titipan.
"Sudah selayaknya jika diadakan LP khusus anak," katanya.(ame)

2 komentar:

Hypnotherapy mengatakan...

Artikel parenting yang sangat bagus. Salam kenal & sukses ......

Anonim mengatakan...

sisi lain dari tanjungpinang dan kepri yang selama ini kita elu-elu kan sebagai negeri yang kaya akan berbagai hasil alam dan koruptor..

sedih..