Rabu, 26 November 2008

Minggu, 16 November 2008

Sampah dan Rejeki

Pagi-pagi Endang menggerutu. Plastik isi sampah di samping pintu belakang buyar. Pampers pembungkus kotoran anak terbuka. Sisa sayur, lauk, nasi basi, semuanya jijik berserak. Lantai jadi berminyak, air sari sampah mengental membuat lendir. Bau menyengat masuk hidung.

“Puih, sial! Anjing kurang ajar.” Suara Endang menggerutu. Padahal dia belum tau apakah itu sudah pasti ulah anjing. Bisa saja itu kenakalan kucing. Melihat itu Endang jadi sakit hati. Ia berfikir, semestinya sarannya dulu diikuti suami. Rumah mereka sudah lama diminta dibikin pagar keliling. Selain aman dari maling, aman juga dari serangan fajar binatang bernama anjing dan kucing.

Ide itu sudah diutarakan jauh sebelum mereka menempati rumah yang kontan dibeli. Kejadian macam serupa yang selalu diwanti-wanti. Terbukti, tak lama menghuni, rumah mereka dimasuki maling. Endang takut disantroni lagi. Cepat-cepat semua jendela dan pintu dipasangi terali. Setelah itu, semua oke. Kendala maling dianggap teratasi.

Lewat masalah satu ini, timbul masalah lain lagi. Bunga-bunga kesayanganya. Pada suatu sore, tanah hitam dari bunga-bunga di teras rumah berserak. Mawar dan aneka jenis Anthurium, tegaknya jadi miring. Tanah hitam jadi tempat ayam bermain. Yang bikin keki, ternyata ada tahi kucing. Cuih....

Ending jadi kesal pada sang suami. Uang penghasilan kerja berdua, bukannya disalurkan ke anggaran membangun pagar keliling. Fokusnya malah pada interior. Lantai dikeramik, bagian dalam pokoknya semua dibikin kinclong. Perabot tak juga lupa dilengkapi. Satu alasan yang bisa Endang maklumi. “Kan sehat. Tak ada debu. Enaklah kita menghuni.” Kata suami. Cukup masuk akal untuk diikuti.

Gerutu Endang seketika terhenti. Suaminya didengar gebyar-gebyur mandi. Tak lama lagi, berarti suaminya akan pergi. Lekas ditingalkan saja sampah-sampah tadi. Ada yang lebih penting. Sarapan dan pakaian mesti segera disiapi.

Pada dasarnya Endang tidak takut sama dia punya suami. Pria yang menikahinya dua tahun lalu itu, santun serta baik hati. Tidak seperti dirinya yang punya kebiasaan ngomel setiap hari. Suaminya bertivikal penyabar sekaligus pengertian. Hal itulah yang membuat pasangan ini serasi.

Pernah suatu hari Endang marah besar. Ia kesal karena bunganya rusak lagi. Pelakunya, ya ayam lagi. Kemarahannya ditujukan kepada sang suami. “Ini gara-gara abang. Coba cepat rumah kita dibikin pagar. Mana mungkin ayam-ayam tetangga sialan itu masuk rumah kita. Sekarang lihatlah bunga kesayangan saya.” Tapi suaminya diam saja, cuek. Dan seperti biasa, Endang akhirnya berhenti sendiri.

Sama halnya yang terjadi pagi itu, Endang tak henti-hentinya menggerutu. Suami tetap saja pada perangainya, diam. Endang jadi segan juga. Dia tahu batasan. Sebesar apa pun marahnya, ya cuma itu, ngedumel, tidak lebih. Kendati terbilang ceriwis, Endang dikenal baik. Jiwa sosialnya tinggi. Yang namanya membantu tetangga lagi ditimpa musibah, itu dianggap hal biasa, bahkan kewajiban. Tetangga terkadang dibuat segan.

Kendati ngomel, pekerjaanya menyiapkan sarapan tetap saja jalan. Pakaian sudah disetrika rapih, sudah diletakkan di atas tempat tidur, tinggal dipakai. Pagi itu, Endang lebih memilih sarapan instant. Butuh waktu cepat untuk menyiapkan sarapan agar dia bisa kembali fokus kepada sampah yang tadi berserak. “Sarapan sendiri saja bang. Saya mau beres-beres rumah.” Katanya. Suaminya senyum jawab iya. “Tapi jangan lama-lama lho, abang setengah jam lagi berangkat. “Iya…!”

Endang bergegas. Karuan saja perkataan itu jadi beban fikiran. Tidak lama berarti segera. Ia tak ingin sampah-sampah ditinggal pergi oleh suami. Dia ingin pagi itu juga rumahnya kembali rapih. “Ah, masih banyak sampah di wadah cucian.” Sampah ini tak mau ditinggalkan. Berarti butuh pekerjaan tambahan. “Cuci semua piring dan prabot dapur dulu, kumpulkan sisa makanannya, beres. Suami baru pergi.”

Endang berusaha cepat-cepat mencuci. Piring, sendok, panci, sampai pantat kuali disikat licin. Gratak grutuk semuanya dikerjakan lekas. Ups, samar-samar hape suaminya didengar berbunyi. Padahal pekerjaanya belum lagi siap. Tidak jelas didengar apa pembicaraan sang suami. “Iya pak. Segera!” itu yang hanya menyusup ke telinga. “Wah gawat. Harus lebih cepat.” Tanganya makin ligat berkelebat. Tak peduli lagi kuku patah. Tak peduli gelang emasnya beradu gesek dengan sendok dan sebagainya. “Pokoknya segera. Nanti sampahnya ditinggal.”

Perjuangan Endang mencapai finish tepat ketika suaminya bilang “cepat.” Pekerjaannya tuntas tas tas. Sampah-sampah bekas cucian, dimasukkan dalam mangkuk tirisan. “Sebentar bang, tunggu sampahnya dulu.” Setengah teriak. Disekanya semua sampah dekat pintu belakang yang tadi berserak. Dimasukkannya ke dalam kantong plastik, disusul sampah sisa cuian. “Sudah, sekarang abang boleh berangkat.” Sampah-sampah tadi digantung ke sepada motor, sang suami lantas pergi. Tak lupa sebelumnya cipika cipiki. Endang senyum menyeka keringat basi.

*****

Tiga blok dari kediaman Endang. Edi si penghuni rumah melamun di teras menatap sampah-sampah berserak. Sampah itu barang bekas. Dia sengaja mengumpulkannya sebelum diantar ke agen menerima barang rongsokan apa saja. Plastik, besi bekas, kertas karton, buku, semua telah dipisah. Tidak terpikir bagi pemulung ini untuk memagar rumah. Begitu saja sudahlah. Yang terpenting anak bisa makan, sekolah.

“Aku rasa ini tidak cukup.” Edi menghela nafas cukup panjang. Pagi itu dia kurang gairah. Tidak seperti biasanya, rajin dan cekatan. Biasanya subuh-subuh dia keluar rumah. Menuju bak penampungan sampah sisa rumah tangga perumahan sekitar. Sebelum jam tujuh biasanya dia pulang. Si sulung anaknya diantar ke sekolah.

Belakangan Edi punya masalah keuangan. Istrinya baru sembuh setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Lewat masalah itu, ada masalah baru lagi. Tiga bulan iuran sekolah Sulung belum di bayar. “Guru tagih-tagih terus pak.” Akh, Edi makin pusing. Pandangannya dilepas dari sampah dilempar ke langit. Omongan tagihan sekolah sudah biasa dihadapinya. Tapi yang terakhir ini beda. Runyem. Mereka diberi kesempatan satu minggu untuk melunasi. Jika tidak, Si Sulung dianggap pengurus sekolah tidak layak belajar lagi. Hari itu pas waktu untuk melunaasinya.

Sebenarnya Edi kepingin datang menjumpai wanita tetangga yang disampanya dengan panggilan Bu Endang. “Tapi tidaklah. Malu.” Soalnya utangnya sama Bu Endang masih ada. Biaya pulang istrinya dari rumah sakit saja dari Bu Endang. “Tidak mungkin.”

Edi makin stres. “Kacau.” Dia lalu menghampiri istrinya. “Mak, Sulung hari ini tidak usah sekolah saja.” Istrinya Cuma diam. Sulung disuruh melepas kembali seragam sekolah. Karung dan gancu dimasukkan ke keranjang rotan di belakang motor. Edi pergi.

Di bak sampah dia melamun lagi. Tangannya bekerja, sementara mata dan fikirannya tidak. Hanya gancu yang diayunkan ke onggokan sampah keciprak-keciprok. Padahal suasana di bak sampah itu ramai. Banyak pemulung yang juga mengais rezeki di sana. Sambil bekerja biasanya Edi bercengkrama. “Ah, dari mana aku dapatkan duit.” Lamunnya.

Bagi Edi, keadaan sedemikian ini bukan hal up normal. Tak punya duit itu merupakan hal biasa. Awalnya sebelum nikah saja dia sudah seperti itu. Istrinya selama ini maklum. “Sudah menjadi konsekuensi dinikahi pemulung. Mau bagaimana lagi,” itu kata sang istri. Tapi setelah punya anak, bagi Edi tentu tak sama lagi. Baginya cukup dia yang pemulung. Anaknya tidak. “Jangan sampai bapakmu pemulung, kamu juga jadi pemulung.” Demikian dia selalu memberi nasehat supaya anaknya rajin sekolah.

Takut betul Edi kalau Si Sulung menyamainya. Tidak muluk-muluk sampai kuliah, lulus SMA pun dianggapnya jadilah. Sama, itu yang difikirkanya di bak sampah. Entah berapa lama. Tak dirasa gancu sudah berayun beratus-ratus kali. Tidak disadarinya isi pampers, sisa makanan, dan aneka sampah lainnya memercik ke wajah. Plastik yang digancunya sudah luluh lantak pecah.

“Ups!” Mata Edi terperangah. Ada benda mengkilat panjang diantara sampah-sampah buyar. Diambilnya lekas. Dia macam tak sadar terkesima. Cepat-cepat benda yang rupanya gelang emas itu diselipkan ke saku celana. Matanya lepas ke kanan kiri. Aman, tak ada yang memandang. Raut Edi begitu bahagia. Tak tahu gelang itu punya siapa. Yang penting baginya itu anugerah terindah dari tuhan yang hari itu dia terima. “Tak tahulah, yang penting anakku bisa kembali sekolah.”

****

Sore hari suami Endang pulang ke rumah. Senyumnya sumringah menghantar bungkusan plastik hitam berisi jajanan gorengan. Endang menangkapnya malas. Bibirnya mengatup ditark ke samping atas. Si suami lalu tanya kenapa, "What hapen-ayak naon?" Bibir Endang tetap demikian. Tubuhnya saja yang menggeliat manja. "Anu bang, gelang kesayanganku hilang. Tak tahu kemana." Sumi jawab , apakah sudah dicari. "Sudah. Dari depan sampai belakang, tak ada juga. Malah carinya dari pagi tadi." Suaminya hanya nyeplos gitu saja. "Sudahlah bukan hak kamu lagi. Nanti, kalau ada rezeki, kita beli lagi." Endang jadi riang. Tangannya memeluk tubuh suami manja.


Tanjungpinang, November 2008

Sang Naga Perkasa

Kemahalan PNS

Oleh: Andri Mediansyah

Suara jangkrik bersahut panjang. Angin bertiup dingin di celah dahan. Sejuk. Hawanya menembus jaket tebal Pak Safar. Suara sepeda motor bututnya meraung menembus embun yang mulai turun.

“Ah, sampai juga.” ia berdesah panjang.

Rumah yang ditujunya sepi. Sudah cukup malam, jam sembilan. Lekas Pak Safar memarkir motor. Di dalam rumah, ada yang mengintip dari balik gorden. Lampu neon lalu menyala. Ia menuju teras. Peci hitamnya dibetulkan. Map biru diapit erat di ketiak.

“Assalamualaikum…!”

“Waalaikum salam.” sahut dari dalam.

“Eh, Pak Safar. Masuk Pak. Silahkan. Ada keperluan apa ini?” sambut ahli rumah, ramah.


Pak Safar lebih memilih duduk di teras. Katanya tak mau bikin repot. Di hadapannya, duduk Pak Haji Oong. Dia orang terpandang di kampung. Kaya, pemilik banyak tanah dan usaha.

“Begini pak. Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu istirahat.” memberi pengantar.

“Saya kesini, mau menawarkan tanah milik keluarga kami ke Bapak. Mudah-mudahan Bapak mau dan berminat membeli. Harga bisa kita kompromikan Pak. Tanahnya strategis. Rata di dekat jalan desa. Dulu sudah ada yang menawar. Tapi tidak saya jual. Sayang. Soalnya itu salah satu peninggalan orang tua kami. Luasnya empat hektar. Bagus Pak” kemudian menyerahkan map biru yang sejak Pak Safar duduk diletak di meja.

“Bu.. tolong ambilkan kaca mata bapak.”

Tak lama istrinya datang. Dia sekalian menghidangkan dua gelas teh panas ditambah secuil kue basah. “Silahkan pak, mumpung panas,” ramah kemudian masuk ke dalam.

Lekas teh itu dihirup. Dada yang tadi dingin, kini hangat. Matanya mendelik kea rah Pak Haji Oong yang jeli menyimak kertas berisi denah tanah.

“Maaf, tanahnya belum sertifikat ya Pak? Masih alas hak.”

“Tapi saya tertarik. Rencananya mau dilepas harga berapa?” memotong Pak Safar yang tadi hendak menyela.

“Begini Pak. Seperti saya katakan tadi, saya sebetulnya sayang melepas tanah ini. Karena ada kepentingan mendadak, tanah ini saya jual. Saya tidak berharap lebih. Sesuai kebutuhan saja.” kemudian meletakkan gelas.

“Bilang saja pak. Tidak usah segan. Kan harga nantinya berdasar kesepakatan.”

“Eee.. saya butuh delapan puluh juta pak. Saya rasa harga segitu sudah pantas.”

“Delapan puluh juta ya…!”

“Begini Pak Safar. Saya bukannya memanfaatkan keadaan Bapak. Jadi pertimbangan saya, tanah ini belum ada sertifikat hak milik.”

“Bagaimana kalau enam puluh juta?”

“Bapak tidak mesti menjawab sekarang. Kalau Bapak setuju, besok pagi Bapak ke sini, jual-beli kita proses. Tapi kalau Bapak berfikir untuk mencari orang lain, silahkan. Saya anggap tanah itu bukan jodoh saya.”

Pak Safar menunduk. Diam. Pak Haji Oong kini tidak lagi membahas masalah niaga tanah. Topik beralih keluarga. Menanyakan bagaimana kabar anak-anak, dan kegiatan Pak Safar semenjak pensiun jadi pegawai kelurahan. Obrolan keduanya garing. Pak Safar tidak konsen lantaran memikirkan perbandingan antara delapan puluh juta dan enam puluh juta. Tak lama, ia pamit pulang.

Di rumah istri menyambut. Usai tangannya disujud, Pak safar bergegas menuju kamar. Istrinya menyusul. Diperhatikan Harun, Yahya, dan Salim, anaknya, tertidur lelap di depan teve 14 inchi di ruang keluarga. Ruangan itu salah satu bagian perjalan rumah tangga pak safar. Dulu, saat membangun rumah, ruang itulah yang dia utamakan. Luasnya dibikin lebar dari ruangan lain. Dekorasi diset lebih nyaman agar waktu yang dihabiskan disana lebih terasa. Terngiang ditelinya suara canda mereka anak-beranak. Harmonis. Suara itu lalu hilang, Pak Safar masuk kamar.

“Mana Eka?” kata Pak Safar. Ia meletakkan peci di paku gantungan kemudian melepas pakaian.

“Eka ada di kamar. Belum tidur. Dia masih baca-baca buku. Sarah, Siti di kamar juga. Mungkin sudah tidur.”

“Ini pak, minum dulu.”


Gelas diraih. Airnya ditenggak habis. Pak Safar lalu menyingkap kelambu kemudian berbaring. Lengan kanan diletakkan di dahi. Matanya menerawang.


“Bagaimana Pak. Haji Oong minat beli tanah kita?”

“Iya bu. Tapi beliau mintanya enam puluh juta. Tanah kita belum sertifikat. Bapak katanya disuruh mikir dulu. Kalau kita setuju, besok pagi sanggup dibayar”

“Jadi bagaimana Pak. Kita butuh delapan puluh juta?”

“Tenanglah bu. Kita bicarakan besok pagi saja. Bapak mengantuk”


Suasana lengang. Suara dengkur disambut jangkrik. Sesekali, terdengar pula suara tutup panci dimainkan tikus. Selebihnya senyap. Di bilik, Eka Putra, sulung Pak Safar masih betah duduk di meja belajar. Temannya buku dan lampu neon 5 watt. Kertas halaman tak bosan dibalik ke belakang. Padahal, buku itu sudah lebih tiga kali dibaca. Di meja banyak juga buku-buku. Pengetahuan umum, tes IQ, psiko tes, tertumpuk contoh-contoh soal tes CPNS.


Ia sarjana pertanian dengan predikat cumlaude, sangat memuaskan. Skripsi “Potensi Pengembangan Usaha Pengolahan Ketela Rambat” dihargai nilan “A” oleh dosen penguji. Kendati demikian pekerjaan tak kunjung didapat. Tiga tahun.

Eka cukup merasa tertekan. Terlebih kepada orang tua. Ia diharapkan menjadi tulang punggung ke depan. Adik-adiknya semua sekolah. Sarah masih kuliah. Saudara yang lain pun demikian. Dari SD hingga SMA. Butuh biaya banyak. Ada satu faham yang pernah dianut bapaknya. Pak Safar beranggapan gampang-gampang saja. Yang namanya sarjana, pintar, pasti mudah dapat kerja. Diingat Eka ketika di mobil sewaan ketika pulang wisuda dulu. Si supir memutar lagu iwan fals, Sarjana Muda. Ia sangat terbeban. Dia juga tidak bisa menyalahkan prinsif sang bapak, banyak anak banyak rezeki.


Beban itu kemudian hilang. Eka terlelap di atas tumpukan buku jadi bantal.

*****

Belum siang ketika rumah Pak Safar didatangi orang. Pembahasan soal rencana jual tanah dengan sang istri ditunda. Ia lekas melayani tamu itu.

“Bagaimana yang saya tawarkan pak? Ini waktu sudah mepet. Kalau tidak cepat, saya khawatir jatah bagi anak Bapak diserobot orang. Banyak yang berminat Pak!”

Pak Safar merenung.

“Saya mengerti Pak. Secepatnya akan saya kabarkan.”

Pak Safar termangu di teras rumah. Mata sayu, kening mengkerut. Istrinya menghampiri, lalu mengusap bahu pimpinan keluarga itu.

“Pak… yang sabar ya…!”

“Sepertinya kita memang harus menjual tanah itu bu. Enam puluh juta tidak apa. Kekurangannya akan kita cari lagi.”

Lekas Pak Safar berbenah. Sepeda motor butut miliknya dinyalakan, kemudian tancap gas. Ia ke rumah Haji Oong. Pagi itu juga, tanah dilepas sesuai harga kesepakatan. Sebelum menerima uang, Pak Safar berbicara pelan. Dia minta pinjaman dua puluh juta lagi. “Dalam waktu cepat. Saya berusaha lekas mengembalikannya pak.” Pak Safar berjanji. Haji Oong sejenak terdiam, Pak Safar terus meyakinkan. Sampai akhirnya dia mengangguk. “Iya!”

****

Suatu siang sebulan kemudian….

Rumah Pak Safar begitu gaduh. Dia menepak-nepak dinding rumah, menangis. Istrinya, Eka, menangis. Anak-anaknya yang lain juga ikut-ikutan menangis. Parau kemudian hening. Tak ada yang berbicara. Cuma suara Pak Safar yang bertriak-berteriak: “Ya Tuhan, kenapa begini!” Ia menyesal. Dari pada PNS, lebih baik tanah dan Eka dijadikan modal.

Minggu, 09 November 2008

Aisyah Sulaiman Diselubung Kata

Lampu menyorot ke hanya beberapa titik di panggung. Yang lain gelap. Pun demikian tribun ramai pengunjung. Bias cahaya kuning menyapu wajah pria berusia 65 tahun. Ia berdiri di podium. Rida K Liamsi, matanya terpejam di balik kaca mata. Mulut komat-kamit mengucap sajak. Mulutnya berkatup, tepuk tangan lalu riuh.


"Buku ini, (buku kumpulan sajak berjudul Perjalanan Kelekatu) sudah beredar di Pekanbaru. Belum pernah saya baca. Saya menungggu momen yang tepat. Saya menunggu membacanya di Tanjungpinang ini," ujar Rida K Liamsi sebelum ia berteriak terkadang merintih syahdu membaca sajak-sajak dalam buku karangannya.

Malam itu, Sabtu (8/11) di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman Tanjungpinang, CEO Riau Pos Group itu menjadi penyair terakhir yang tampil. Lima sajak dari buku kumupulan puisi dia baca berurut. Sajak-sajak dari buku kumpulan puisinya yang paling anyar diluncurkan; Di Great Wall, Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Rose Lima, Dan Sejarah Pun Berdarah, serta sajak wajibnya berjudul Tempuling. Sajak-sajak itu memadu diucap diiring alunan musik kontemporer iringan Raja Ahmad Helmi.

Ia nampak bahagia, senang. Kerinduannya membaca puisi terlampiaskan. Sudah lama, sudah 18 tahun dia tidak membaca puisi di kota yang mengawali kesusastraannya, Tanjungpinang. Tidak sekadar membaca sajak, malam itu Rida K Liamsi bereuni. Teman-teman lama, Wakil GUbernur Kepri H M Sani, Mahzumi Daud, dan Tusiran Suseno, datang. Mereka juga berperan membaca puisi.

H M Sani, bangga membaca salah satu sajak Rida K Liamsi, Di Masjidil Haram, Setelah Menara Zamzam. Mahzumi Daud, penyair gondrong berlentera, berteriak lantang membaca puisi karangannya. Ia menepak emosional meja podium.
Lain lagi polah Tusiran Suseno. Ia membawakan puisi parodi. "P", itu judulnya. Luar biasa, penonton bergelak tawa mendengar olahan kata P tadi. Misalnya demikian: Apalah artinya P (saya tak sebut) kalau tak hidup.

Selain tiga nama itu, ada Hasan Aspahani, Ramon Damora, Husnizar Hood, Teja Albab, Lawen Newal, dan Abdul Kadir Ibrahim. Membacakan sajak juga dilakukan Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan, Wakil Bupati Bintan mastur Taher, dan Aida Zulaika, istri Gubernur Kepri Ismeth Abdullah.

Hasan Aspahani, pengelola sejutapuisi.blogspot.com dan pimpinan redaksi Batam Pos ini membawakan satu puisinya berjudul Sungai Yang mengalir di Negeri Kita. Ia sudah membacanya di Jakarta dan Yogyakarta. Pembawaan Hasan membacanya malam itu tegas, santun.

Tak kalah santun pula Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam, Ramon Damora. Dia membawakan sajak tanpa judul. Sebuah hasil karya yang katanya paling religius. Puisi percintaan, tentang hubungan asmara bahkan diucap berhubungan badan. Penonton bertanya bagian mana yang disebut religus. Pemilik kumpulan sajak Bulu Mata Susu ini menjawab di akhir sajak: "Insya Allah nazis". Itu maksudnya religus.

Di panggung Teja Albab membawa dua puisi dari kumpulan sajaknya Sabda Kejora. Sabda Kejora (berisi pesan kepada presidan), dan Akulah Sang Pangeran. Membawakan Akulah Sang Pangeran Teja nampak begitu angkuh. Di puisi buat istrinya itu ia menganggap dirinya bagai lelaki sempurna.

Sementara, Mastur Taher menyajikan sebuh puisi Apa Kata Pahlawan. Puisi karangannya itu mengangkat isyu pro dan kontra terhadap disyahkannya UU Anti Pornografi. Mastur disambut tepuk tangan. Demikian pula Kabag Humas Pemko Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim (Akib). Awal penampilannya mengejutkan penonton. Dia berteriak dari salah satu kursi di tribun. Jeritannya berirama mendayu sambil berarak menuju panggung dan kemudian membawakan dua puisi bernuansa sufistik.

Tak kalah seru Aida Zulaika. Dia bersemangat membawa dua puisi. Satu karangan Rida K Liamsi berjudul Surat Kepada GM, dan sajak karangannya Ahlak Mulia. Suryatati lebih terlihat melankolis. Satu puisi Rida K Liamsi, Asam Paya, ia bawa. Puisi satunya, Walikota Tanjungpinang lalu bernostalgia. Dia menyampaikan kenangan, teringat bapaknya yang begitu senangnya mengantar keberangkatan orang naik haji. Suryatati mengaku teringat di saat dia melepas kontingen haji. Mata Suryatati kala itu memantulkan cahaya air, seolah hendak menangis.