Minggu, 16 November 2008

Sampah dan Rejeki

Pagi-pagi Endang menggerutu. Plastik isi sampah di samping pintu belakang buyar. Pampers pembungkus kotoran anak terbuka. Sisa sayur, lauk, nasi basi, semuanya jijik berserak. Lantai jadi berminyak, air sari sampah mengental membuat lendir. Bau menyengat masuk hidung.

“Puih, sial! Anjing kurang ajar.” Suara Endang menggerutu. Padahal dia belum tau apakah itu sudah pasti ulah anjing. Bisa saja itu kenakalan kucing. Melihat itu Endang jadi sakit hati. Ia berfikir, semestinya sarannya dulu diikuti suami. Rumah mereka sudah lama diminta dibikin pagar keliling. Selain aman dari maling, aman juga dari serangan fajar binatang bernama anjing dan kucing.

Ide itu sudah diutarakan jauh sebelum mereka menempati rumah yang kontan dibeli. Kejadian macam serupa yang selalu diwanti-wanti. Terbukti, tak lama menghuni, rumah mereka dimasuki maling. Endang takut disantroni lagi. Cepat-cepat semua jendela dan pintu dipasangi terali. Setelah itu, semua oke. Kendala maling dianggap teratasi.

Lewat masalah satu ini, timbul masalah lain lagi. Bunga-bunga kesayanganya. Pada suatu sore, tanah hitam dari bunga-bunga di teras rumah berserak. Mawar dan aneka jenis Anthurium, tegaknya jadi miring. Tanah hitam jadi tempat ayam bermain. Yang bikin keki, ternyata ada tahi kucing. Cuih....

Ending jadi kesal pada sang suami. Uang penghasilan kerja berdua, bukannya disalurkan ke anggaran membangun pagar keliling. Fokusnya malah pada interior. Lantai dikeramik, bagian dalam pokoknya semua dibikin kinclong. Perabot tak juga lupa dilengkapi. Satu alasan yang bisa Endang maklumi. “Kan sehat. Tak ada debu. Enaklah kita menghuni.” Kata suami. Cukup masuk akal untuk diikuti.

Gerutu Endang seketika terhenti. Suaminya didengar gebyar-gebyur mandi. Tak lama lagi, berarti suaminya akan pergi. Lekas ditingalkan saja sampah-sampah tadi. Ada yang lebih penting. Sarapan dan pakaian mesti segera disiapi.

Pada dasarnya Endang tidak takut sama dia punya suami. Pria yang menikahinya dua tahun lalu itu, santun serta baik hati. Tidak seperti dirinya yang punya kebiasaan ngomel setiap hari. Suaminya bertivikal penyabar sekaligus pengertian. Hal itulah yang membuat pasangan ini serasi.

Pernah suatu hari Endang marah besar. Ia kesal karena bunganya rusak lagi. Pelakunya, ya ayam lagi. Kemarahannya ditujukan kepada sang suami. “Ini gara-gara abang. Coba cepat rumah kita dibikin pagar. Mana mungkin ayam-ayam tetangga sialan itu masuk rumah kita. Sekarang lihatlah bunga kesayangan saya.” Tapi suaminya diam saja, cuek. Dan seperti biasa, Endang akhirnya berhenti sendiri.

Sama halnya yang terjadi pagi itu, Endang tak henti-hentinya menggerutu. Suami tetap saja pada perangainya, diam. Endang jadi segan juga. Dia tahu batasan. Sebesar apa pun marahnya, ya cuma itu, ngedumel, tidak lebih. Kendati terbilang ceriwis, Endang dikenal baik. Jiwa sosialnya tinggi. Yang namanya membantu tetangga lagi ditimpa musibah, itu dianggap hal biasa, bahkan kewajiban. Tetangga terkadang dibuat segan.

Kendati ngomel, pekerjaanya menyiapkan sarapan tetap saja jalan. Pakaian sudah disetrika rapih, sudah diletakkan di atas tempat tidur, tinggal dipakai. Pagi itu, Endang lebih memilih sarapan instant. Butuh waktu cepat untuk menyiapkan sarapan agar dia bisa kembali fokus kepada sampah yang tadi berserak. “Sarapan sendiri saja bang. Saya mau beres-beres rumah.” Katanya. Suaminya senyum jawab iya. “Tapi jangan lama-lama lho, abang setengah jam lagi berangkat. “Iya…!”

Endang bergegas. Karuan saja perkataan itu jadi beban fikiran. Tidak lama berarti segera. Ia tak ingin sampah-sampah ditinggal pergi oleh suami. Dia ingin pagi itu juga rumahnya kembali rapih. “Ah, masih banyak sampah di wadah cucian.” Sampah ini tak mau ditinggalkan. Berarti butuh pekerjaan tambahan. “Cuci semua piring dan prabot dapur dulu, kumpulkan sisa makanannya, beres. Suami baru pergi.”

Endang berusaha cepat-cepat mencuci. Piring, sendok, panci, sampai pantat kuali disikat licin. Gratak grutuk semuanya dikerjakan lekas. Ups, samar-samar hape suaminya didengar berbunyi. Padahal pekerjaanya belum lagi siap. Tidak jelas didengar apa pembicaraan sang suami. “Iya pak. Segera!” itu yang hanya menyusup ke telinga. “Wah gawat. Harus lebih cepat.” Tanganya makin ligat berkelebat. Tak peduli lagi kuku patah. Tak peduli gelang emasnya beradu gesek dengan sendok dan sebagainya. “Pokoknya segera. Nanti sampahnya ditinggal.”

Perjuangan Endang mencapai finish tepat ketika suaminya bilang “cepat.” Pekerjaannya tuntas tas tas. Sampah-sampah bekas cucian, dimasukkan dalam mangkuk tirisan. “Sebentar bang, tunggu sampahnya dulu.” Setengah teriak. Disekanya semua sampah dekat pintu belakang yang tadi berserak. Dimasukkannya ke dalam kantong plastik, disusul sampah sisa cuian. “Sudah, sekarang abang boleh berangkat.” Sampah-sampah tadi digantung ke sepada motor, sang suami lantas pergi. Tak lupa sebelumnya cipika cipiki. Endang senyum menyeka keringat basi.

*****

Tiga blok dari kediaman Endang. Edi si penghuni rumah melamun di teras menatap sampah-sampah berserak. Sampah itu barang bekas. Dia sengaja mengumpulkannya sebelum diantar ke agen menerima barang rongsokan apa saja. Plastik, besi bekas, kertas karton, buku, semua telah dipisah. Tidak terpikir bagi pemulung ini untuk memagar rumah. Begitu saja sudahlah. Yang terpenting anak bisa makan, sekolah.

“Aku rasa ini tidak cukup.” Edi menghela nafas cukup panjang. Pagi itu dia kurang gairah. Tidak seperti biasanya, rajin dan cekatan. Biasanya subuh-subuh dia keluar rumah. Menuju bak penampungan sampah sisa rumah tangga perumahan sekitar. Sebelum jam tujuh biasanya dia pulang. Si sulung anaknya diantar ke sekolah.

Belakangan Edi punya masalah keuangan. Istrinya baru sembuh setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Lewat masalah itu, ada masalah baru lagi. Tiga bulan iuran sekolah Sulung belum di bayar. “Guru tagih-tagih terus pak.” Akh, Edi makin pusing. Pandangannya dilepas dari sampah dilempar ke langit. Omongan tagihan sekolah sudah biasa dihadapinya. Tapi yang terakhir ini beda. Runyem. Mereka diberi kesempatan satu minggu untuk melunasi. Jika tidak, Si Sulung dianggap pengurus sekolah tidak layak belajar lagi. Hari itu pas waktu untuk melunaasinya.

Sebenarnya Edi kepingin datang menjumpai wanita tetangga yang disampanya dengan panggilan Bu Endang. “Tapi tidaklah. Malu.” Soalnya utangnya sama Bu Endang masih ada. Biaya pulang istrinya dari rumah sakit saja dari Bu Endang. “Tidak mungkin.”

Edi makin stres. “Kacau.” Dia lalu menghampiri istrinya. “Mak, Sulung hari ini tidak usah sekolah saja.” Istrinya Cuma diam. Sulung disuruh melepas kembali seragam sekolah. Karung dan gancu dimasukkan ke keranjang rotan di belakang motor. Edi pergi.

Di bak sampah dia melamun lagi. Tangannya bekerja, sementara mata dan fikirannya tidak. Hanya gancu yang diayunkan ke onggokan sampah keciprak-keciprok. Padahal suasana di bak sampah itu ramai. Banyak pemulung yang juga mengais rezeki di sana. Sambil bekerja biasanya Edi bercengkrama. “Ah, dari mana aku dapatkan duit.” Lamunnya.

Bagi Edi, keadaan sedemikian ini bukan hal up normal. Tak punya duit itu merupakan hal biasa. Awalnya sebelum nikah saja dia sudah seperti itu. Istrinya selama ini maklum. “Sudah menjadi konsekuensi dinikahi pemulung. Mau bagaimana lagi,” itu kata sang istri. Tapi setelah punya anak, bagi Edi tentu tak sama lagi. Baginya cukup dia yang pemulung. Anaknya tidak. “Jangan sampai bapakmu pemulung, kamu juga jadi pemulung.” Demikian dia selalu memberi nasehat supaya anaknya rajin sekolah.

Takut betul Edi kalau Si Sulung menyamainya. Tidak muluk-muluk sampai kuliah, lulus SMA pun dianggapnya jadilah. Sama, itu yang difikirkanya di bak sampah. Entah berapa lama. Tak dirasa gancu sudah berayun beratus-ratus kali. Tidak disadarinya isi pampers, sisa makanan, dan aneka sampah lainnya memercik ke wajah. Plastik yang digancunya sudah luluh lantak pecah.

“Ups!” Mata Edi terperangah. Ada benda mengkilat panjang diantara sampah-sampah buyar. Diambilnya lekas. Dia macam tak sadar terkesima. Cepat-cepat benda yang rupanya gelang emas itu diselipkan ke saku celana. Matanya lepas ke kanan kiri. Aman, tak ada yang memandang. Raut Edi begitu bahagia. Tak tahu gelang itu punya siapa. Yang penting baginya itu anugerah terindah dari tuhan yang hari itu dia terima. “Tak tahulah, yang penting anakku bisa kembali sekolah.”

****

Sore hari suami Endang pulang ke rumah. Senyumnya sumringah menghantar bungkusan plastik hitam berisi jajanan gorengan. Endang menangkapnya malas. Bibirnya mengatup ditark ke samping atas. Si suami lalu tanya kenapa, "What hapen-ayak naon?" Bibir Endang tetap demikian. Tubuhnya saja yang menggeliat manja. "Anu bang, gelang kesayanganku hilang. Tak tahu kemana." Sumi jawab , apakah sudah dicari. "Sudah. Dari depan sampai belakang, tak ada juga. Malah carinya dari pagi tadi." Suaminya hanya nyeplos gitu saja. "Sudahlah bukan hak kamu lagi. Nanti, kalau ada rezeki, kita beli lagi." Endang jadi riang. Tangannya memeluk tubuh suami manja.


Tanjungpinang, November 2008

1 komentar:

eddy the reds mengatakan...

sungguh menarik sekali, well done