Minggu, 09 November 2008

Aisyah Sulaiman Diselubung Kata

Lampu menyorot ke hanya beberapa titik di panggung. Yang lain gelap. Pun demikian tribun ramai pengunjung. Bias cahaya kuning menyapu wajah pria berusia 65 tahun. Ia berdiri di podium. Rida K Liamsi, matanya terpejam di balik kaca mata. Mulut komat-kamit mengucap sajak. Mulutnya berkatup, tepuk tangan lalu riuh.


"Buku ini, (buku kumpulan sajak berjudul Perjalanan Kelekatu) sudah beredar di Pekanbaru. Belum pernah saya baca. Saya menungggu momen yang tepat. Saya menunggu membacanya di Tanjungpinang ini," ujar Rida K Liamsi sebelum ia berteriak terkadang merintih syahdu membaca sajak-sajak dalam buku karangannya.

Malam itu, Sabtu (8/11) di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman Tanjungpinang, CEO Riau Pos Group itu menjadi penyair terakhir yang tampil. Lima sajak dari buku kumupulan puisi dia baca berurut. Sajak-sajak dari buku kumpulan puisinya yang paling anyar diluncurkan; Di Great Wall, Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Rose Lima, Dan Sejarah Pun Berdarah, serta sajak wajibnya berjudul Tempuling. Sajak-sajak itu memadu diucap diiring alunan musik kontemporer iringan Raja Ahmad Helmi.

Ia nampak bahagia, senang. Kerinduannya membaca puisi terlampiaskan. Sudah lama, sudah 18 tahun dia tidak membaca puisi di kota yang mengawali kesusastraannya, Tanjungpinang. Tidak sekadar membaca sajak, malam itu Rida K Liamsi bereuni. Teman-teman lama, Wakil GUbernur Kepri H M Sani, Mahzumi Daud, dan Tusiran Suseno, datang. Mereka juga berperan membaca puisi.

H M Sani, bangga membaca salah satu sajak Rida K Liamsi, Di Masjidil Haram, Setelah Menara Zamzam. Mahzumi Daud, penyair gondrong berlentera, berteriak lantang membaca puisi karangannya. Ia menepak emosional meja podium.
Lain lagi polah Tusiran Suseno. Ia membawakan puisi parodi. "P", itu judulnya. Luar biasa, penonton bergelak tawa mendengar olahan kata P tadi. Misalnya demikian: Apalah artinya P (saya tak sebut) kalau tak hidup.

Selain tiga nama itu, ada Hasan Aspahani, Ramon Damora, Husnizar Hood, Teja Albab, Lawen Newal, dan Abdul Kadir Ibrahim. Membacakan sajak juga dilakukan Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan, Wakil Bupati Bintan mastur Taher, dan Aida Zulaika, istri Gubernur Kepri Ismeth Abdullah.

Hasan Aspahani, pengelola sejutapuisi.blogspot.com dan pimpinan redaksi Batam Pos ini membawakan satu puisinya berjudul Sungai Yang mengalir di Negeri Kita. Ia sudah membacanya di Jakarta dan Yogyakarta. Pembawaan Hasan membacanya malam itu tegas, santun.

Tak kalah santun pula Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam, Ramon Damora. Dia membawakan sajak tanpa judul. Sebuah hasil karya yang katanya paling religius. Puisi percintaan, tentang hubungan asmara bahkan diucap berhubungan badan. Penonton bertanya bagian mana yang disebut religus. Pemilik kumpulan sajak Bulu Mata Susu ini menjawab di akhir sajak: "Insya Allah nazis". Itu maksudnya religus.

Di panggung Teja Albab membawa dua puisi dari kumpulan sajaknya Sabda Kejora. Sabda Kejora (berisi pesan kepada presidan), dan Akulah Sang Pangeran. Membawakan Akulah Sang Pangeran Teja nampak begitu angkuh. Di puisi buat istrinya itu ia menganggap dirinya bagai lelaki sempurna.

Sementara, Mastur Taher menyajikan sebuh puisi Apa Kata Pahlawan. Puisi karangannya itu mengangkat isyu pro dan kontra terhadap disyahkannya UU Anti Pornografi. Mastur disambut tepuk tangan. Demikian pula Kabag Humas Pemko Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim (Akib). Awal penampilannya mengejutkan penonton. Dia berteriak dari salah satu kursi di tribun. Jeritannya berirama mendayu sambil berarak menuju panggung dan kemudian membawakan dua puisi bernuansa sufistik.

Tak kalah seru Aida Zulaika. Dia bersemangat membawa dua puisi. Satu karangan Rida K Liamsi berjudul Surat Kepada GM, dan sajak karangannya Ahlak Mulia. Suryatati lebih terlihat melankolis. Satu puisi Rida K Liamsi, Asam Paya, ia bawa. Puisi satunya, Walikota Tanjungpinang lalu bernostalgia. Dia menyampaikan kenangan, teringat bapaknya yang begitu senangnya mengantar keberangkatan orang naik haji. Suryatati mengaku teringat di saat dia melepas kontingen haji. Mata Suryatati kala itu memantulkan cahaya air, seolah hendak menangis.

Tidak ada komentar: