Minggu, 16 November 2008

Kemahalan PNS

Oleh: Andri Mediansyah

Suara jangkrik bersahut panjang. Angin bertiup dingin di celah dahan. Sejuk. Hawanya menembus jaket tebal Pak Safar. Suara sepeda motor bututnya meraung menembus embun yang mulai turun.

“Ah, sampai juga.” ia berdesah panjang.

Rumah yang ditujunya sepi. Sudah cukup malam, jam sembilan. Lekas Pak Safar memarkir motor. Di dalam rumah, ada yang mengintip dari balik gorden. Lampu neon lalu menyala. Ia menuju teras. Peci hitamnya dibetulkan. Map biru diapit erat di ketiak.

“Assalamualaikum…!”

“Waalaikum salam.” sahut dari dalam.

“Eh, Pak Safar. Masuk Pak. Silahkan. Ada keperluan apa ini?” sambut ahli rumah, ramah.


Pak Safar lebih memilih duduk di teras. Katanya tak mau bikin repot. Di hadapannya, duduk Pak Haji Oong. Dia orang terpandang di kampung. Kaya, pemilik banyak tanah dan usaha.

“Begini pak. Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu istirahat.” memberi pengantar.

“Saya kesini, mau menawarkan tanah milik keluarga kami ke Bapak. Mudah-mudahan Bapak mau dan berminat membeli. Harga bisa kita kompromikan Pak. Tanahnya strategis. Rata di dekat jalan desa. Dulu sudah ada yang menawar. Tapi tidak saya jual. Sayang. Soalnya itu salah satu peninggalan orang tua kami. Luasnya empat hektar. Bagus Pak” kemudian menyerahkan map biru yang sejak Pak Safar duduk diletak di meja.

“Bu.. tolong ambilkan kaca mata bapak.”

Tak lama istrinya datang. Dia sekalian menghidangkan dua gelas teh panas ditambah secuil kue basah. “Silahkan pak, mumpung panas,” ramah kemudian masuk ke dalam.

Lekas teh itu dihirup. Dada yang tadi dingin, kini hangat. Matanya mendelik kea rah Pak Haji Oong yang jeli menyimak kertas berisi denah tanah.

“Maaf, tanahnya belum sertifikat ya Pak? Masih alas hak.”

“Tapi saya tertarik. Rencananya mau dilepas harga berapa?” memotong Pak Safar yang tadi hendak menyela.

“Begini Pak. Seperti saya katakan tadi, saya sebetulnya sayang melepas tanah ini. Karena ada kepentingan mendadak, tanah ini saya jual. Saya tidak berharap lebih. Sesuai kebutuhan saja.” kemudian meletakkan gelas.

“Bilang saja pak. Tidak usah segan. Kan harga nantinya berdasar kesepakatan.”

“Eee.. saya butuh delapan puluh juta pak. Saya rasa harga segitu sudah pantas.”

“Delapan puluh juta ya…!”

“Begini Pak Safar. Saya bukannya memanfaatkan keadaan Bapak. Jadi pertimbangan saya, tanah ini belum ada sertifikat hak milik.”

“Bagaimana kalau enam puluh juta?”

“Bapak tidak mesti menjawab sekarang. Kalau Bapak setuju, besok pagi Bapak ke sini, jual-beli kita proses. Tapi kalau Bapak berfikir untuk mencari orang lain, silahkan. Saya anggap tanah itu bukan jodoh saya.”

Pak Safar menunduk. Diam. Pak Haji Oong kini tidak lagi membahas masalah niaga tanah. Topik beralih keluarga. Menanyakan bagaimana kabar anak-anak, dan kegiatan Pak Safar semenjak pensiun jadi pegawai kelurahan. Obrolan keduanya garing. Pak Safar tidak konsen lantaran memikirkan perbandingan antara delapan puluh juta dan enam puluh juta. Tak lama, ia pamit pulang.

Di rumah istri menyambut. Usai tangannya disujud, Pak safar bergegas menuju kamar. Istrinya menyusul. Diperhatikan Harun, Yahya, dan Salim, anaknya, tertidur lelap di depan teve 14 inchi di ruang keluarga. Ruangan itu salah satu bagian perjalan rumah tangga pak safar. Dulu, saat membangun rumah, ruang itulah yang dia utamakan. Luasnya dibikin lebar dari ruangan lain. Dekorasi diset lebih nyaman agar waktu yang dihabiskan disana lebih terasa. Terngiang ditelinya suara canda mereka anak-beranak. Harmonis. Suara itu lalu hilang, Pak Safar masuk kamar.

“Mana Eka?” kata Pak Safar. Ia meletakkan peci di paku gantungan kemudian melepas pakaian.

“Eka ada di kamar. Belum tidur. Dia masih baca-baca buku. Sarah, Siti di kamar juga. Mungkin sudah tidur.”

“Ini pak, minum dulu.”


Gelas diraih. Airnya ditenggak habis. Pak Safar lalu menyingkap kelambu kemudian berbaring. Lengan kanan diletakkan di dahi. Matanya menerawang.


“Bagaimana Pak. Haji Oong minat beli tanah kita?”

“Iya bu. Tapi beliau mintanya enam puluh juta. Tanah kita belum sertifikat. Bapak katanya disuruh mikir dulu. Kalau kita setuju, besok pagi sanggup dibayar”

“Jadi bagaimana Pak. Kita butuh delapan puluh juta?”

“Tenanglah bu. Kita bicarakan besok pagi saja. Bapak mengantuk”


Suasana lengang. Suara dengkur disambut jangkrik. Sesekali, terdengar pula suara tutup panci dimainkan tikus. Selebihnya senyap. Di bilik, Eka Putra, sulung Pak Safar masih betah duduk di meja belajar. Temannya buku dan lampu neon 5 watt. Kertas halaman tak bosan dibalik ke belakang. Padahal, buku itu sudah lebih tiga kali dibaca. Di meja banyak juga buku-buku. Pengetahuan umum, tes IQ, psiko tes, tertumpuk contoh-contoh soal tes CPNS.


Ia sarjana pertanian dengan predikat cumlaude, sangat memuaskan. Skripsi “Potensi Pengembangan Usaha Pengolahan Ketela Rambat” dihargai nilan “A” oleh dosen penguji. Kendati demikian pekerjaan tak kunjung didapat. Tiga tahun.

Eka cukup merasa tertekan. Terlebih kepada orang tua. Ia diharapkan menjadi tulang punggung ke depan. Adik-adiknya semua sekolah. Sarah masih kuliah. Saudara yang lain pun demikian. Dari SD hingga SMA. Butuh biaya banyak. Ada satu faham yang pernah dianut bapaknya. Pak Safar beranggapan gampang-gampang saja. Yang namanya sarjana, pintar, pasti mudah dapat kerja. Diingat Eka ketika di mobil sewaan ketika pulang wisuda dulu. Si supir memutar lagu iwan fals, Sarjana Muda. Ia sangat terbeban. Dia juga tidak bisa menyalahkan prinsif sang bapak, banyak anak banyak rezeki.


Beban itu kemudian hilang. Eka terlelap di atas tumpukan buku jadi bantal.

*****

Belum siang ketika rumah Pak Safar didatangi orang. Pembahasan soal rencana jual tanah dengan sang istri ditunda. Ia lekas melayani tamu itu.

“Bagaimana yang saya tawarkan pak? Ini waktu sudah mepet. Kalau tidak cepat, saya khawatir jatah bagi anak Bapak diserobot orang. Banyak yang berminat Pak!”

Pak Safar merenung.

“Saya mengerti Pak. Secepatnya akan saya kabarkan.”

Pak Safar termangu di teras rumah. Mata sayu, kening mengkerut. Istrinya menghampiri, lalu mengusap bahu pimpinan keluarga itu.

“Pak… yang sabar ya…!”

“Sepertinya kita memang harus menjual tanah itu bu. Enam puluh juta tidak apa. Kekurangannya akan kita cari lagi.”

Lekas Pak Safar berbenah. Sepeda motor butut miliknya dinyalakan, kemudian tancap gas. Ia ke rumah Haji Oong. Pagi itu juga, tanah dilepas sesuai harga kesepakatan. Sebelum menerima uang, Pak Safar berbicara pelan. Dia minta pinjaman dua puluh juta lagi. “Dalam waktu cepat. Saya berusaha lekas mengembalikannya pak.” Pak Safar berjanji. Haji Oong sejenak terdiam, Pak Safar terus meyakinkan. Sampai akhirnya dia mengangguk. “Iya!”

****

Suatu siang sebulan kemudian….

Rumah Pak Safar begitu gaduh. Dia menepak-nepak dinding rumah, menangis. Istrinya, Eka, menangis. Anak-anaknya yang lain juga ikut-ikutan menangis. Parau kemudian hening. Tak ada yang berbicara. Cuma suara Pak Safar yang bertriak-berteriak: “Ya Tuhan, kenapa begini!” Ia menyesal. Dari pada PNS, lebih baik tanah dan Eka dijadikan modal.

Tidak ada komentar: