Minggu, 14 Desember 2008

Cerpen


Halusinasi Negatif

Oh!” aku tak sanggup menahan suara. Dada menyesak, menggumpal menyumbat kerongkongan. Oh! Air tubuhku seolah pecah. Mengalir melalui pupil, tembus rongga hidung lalu jatuh di bibir. Aduh… anak satu-satunya, hartaku ini mati. Tuhan, kami baru dekat, dia masih sangat lucu. Kenapa tidak saja aku...

Dunia seketika dirasa gelap. Tak berbeda seperti kebiasaannya menyuntikkan putaw ke urat kepala. Sarafnya mengejang lalu tumbang. Ramai pelayat yang datang kemudian sibuk mengangkat. Rambut gondrong ikalnya tergerai terjuntai ke bawah ketika tubuh kerempeng itu diangkat. Marni, istrinya hanya bisa menatap nanar. Matanya merah mengkilap menggenang air. Urat-urat halus memecah retina menembus kebencian terselubung di dadanya.

“Biarkan dia mati bersama anakku. Dia maunya begitu..!”

Marni berteriak. Tangannya mengejang dipegangi ibu-ibu tetangga yang melayat. Dia tetap teriak. Keras makin mengencang. Tidak dia dengar nasehat tetangga kalau kematian anaknya sebuah takdir. Tidak dihiraukan semua ocehan yang masuk ke telinga. Gendang didalamnya menolak. Yang dia tahu kematian anak lelakinya itu semata bukan takdir, bukan pula cobaan. Itu semua karena Bujang.

“Dia sudah tahu anaknya sakit. Yang ia beli bukan obat anaknya. Dasar setan, yang dibelinya malah obat setan. Dasar setan kau Bujang…!”

Marni berteriak bak melolong. Tubuhnya kini menggelepar di lantai. Kerabatnya menangis. Dia macam kerasukan. Berkali-kali kata sabar serta saran beristighfar terucap untuknya. Marni hanya diam. Matanya memutih menatap atap rumah tanpa penghalang.

***

Di malam kematian anaknya. Rumah Bujang sepi. Hanya satu dua tetangga nampak memindahkan bangku plastik dari halaman ditumpuk di teras. Angin bertiup sepoi menurun-naikkan terpal plastik warna biru. Tali nilonnya berketepuk mengencang mengikut arah terpal.

Sore tadi, ruangan rumah sempit di rumah itu ramai orang. Banyak warga yang datang melayat sekaligus membantu mengusung keranda. Anak Bujang dikebumikan di pemakaman umum. Kendati hujan, pengantar tetap setia saja. Marni berdiri di tepian kubur memegangi paying. Kakinya lemah menopang tubuh. Sesekali dia mendekap pundak kakaknya yang berdiri di sebelah. “Anakku…!” katanya menangis.

Lalu dimana Bujang? Dia tidak nampak di antara para warga yang berdiri mengelilingi lubang. Dia pula tidak berada di antara orang-orang berkopiah mengebaskan cangkul memasukkan tanah becek dalam kubur.

“Bujang tidak ikut. Dia da di rumah.” Bisik salah seorang di deretan belakang pengantar jenazah.

Apa yang terjadi sore itu masih diingat Marni. Dia duduk di dalam rumah. Kaki kirinya tersimpuh ditindih kaki sebelah ke arah belakang. Sapu tangan berkali-kali ia seka ke pipi terkadang mengais hidung. Ia masih menangis. Sejak anaknya mati, air itu tidak kering. Terus mengucur keluar dari mata. Di sampingnya, seorang wanita mulai renta tak banyak bicara. Tangannya tak henti mengusap bahu Marni yang mengejang karena dia membungkukkan badan. Emaknya itu turut larut dalam kesedihan.

Setengah jam lalu rumah mereka ramai didatangi tetangga. Surah Yasin dilanjutkan wirid berkumandang. Doa bagi anak dipanjatkan. Semoga yang ditinggalkan diberikan kesabaran tak lupa pula dipintakan. Menjelang Isya, para tetangga meninggalkan pergi satu per satu. “Yang sabar.” Itu kata mereka sebelum ke arah pintu keluar.

Di kamar, Bujang hanya sendiri. Orang-orang lebih berperhatian lebih kepada Marni. Tapi dia tidak peduli. Entah sudah berapa lama dia terduduk di tepian dipan kayu jati yang menjadi saksi malam pengantin. Pandangannya lurus. Tak peduli nyamuk merongrong betis. Tak dihirau pakaiannya bau apek bekas keringat. Bujang larut dalam fantasi. Dia tertawa bergelak. Tubunya seketika dirasa ringan. Sehat benar dirasanya ia saat itu. Dua tombak di hadapan, sekelebat dia melihat anaknya muncul kemudian tersenyum. “O.. kamu tidak mati nak. Kamu hidup lagi.” Bujang balas memberikan senyum. Tangan anak lelakinya yang lembut, lekas dia pegang lalu diayun. Mereka berdua menari diring tetabuhan musik melayu.

“Ayo kita bermain nak. Nanti ibumu menyusul.” Bujang lalu mencipta tarian melingkar. Mulutnya meracau mengucap entah nyanyian apa. Kakinya sedikit demi sedikit diarahkan ke pintu kamar. Bahunya kemudian mendorong pintu berdaun dua. Seketika terang. Tubuh menari mereka membentuk siluet terkena pancaran. Bujang kian kencang membentuk putaran. Kakinya kuat menghentak menapak rumput hijau. Burung berkicau menyambut riang. Embun menetes dari dahan lalu jatuh di genangan kolam. Alam raya kala itu begitu bersih. Langit cerah membiru diselang awan putih. Udara begitu lancar menembus hidung lalu menyeka paru-paru. Mereka berguling di hampar rumput luas. Tubuh Bujang merebah, mengangkat tubuh kecil sang anak. Wajah mereka berhadapan. Dengan senyuman, Pipi halus anaknya kemudian dikecup lembut. Begitu tenang, riang hati Bujang. Tak tahu ia kapan senja kan datang menyuruh mereka pulang.

***

Bulan kian merambat ke atas menggeser waktu malam. Cahayanya menembus dahan membuat bayang pepohonan membias ke atap rumah. Tak ada suara tapak kaki di sepanjang jalur jalan. Jangkrik kian riang bersenandung malam. Rumah Bujang begitu sunyi. Suara tangis pilu dari bibir Marni masih terdengar menyayat dari dalam.

Malam lengang membosankan itu lalu pecah dengan suara wanita serak parau.

“Marni, coba engkau tengok Si Bujang. Dia tertawa-tawa sendiri. Lekaslah.”

Marni Cuma diam mendengar perkataan emaknya. Posisinya tetap semula. Ia hanya menoleh sekjap lalu menangis lagi.

“Biarkan saja mak. Dia sering seperti itu.”

“Eh.. cobalah kau tengok sebentar. Tertawanya aneh. Lekaslah, cepat.”

Marni mengikut saja ketika jemari keriput emaknya mencengkram lengan mengajaknya ke arah kamar. Malas sebetulnya ia. Tapi apa daya, yang memerintah adalah pemilik surga ditelapak kaki. Marni dipaksa beranjak setengah diseret. Di depan pintu, cepat tangan emaknya menyingkap gorden.

“Itu, coba kau lihat.”

Mata Marni dibelalakan masuk ke kamar. Di keremangan, duami dilihat menari. “Ada apa gerangan ini?” Dia kemudian melangkah masuk.

***

Bujang masih asik mahsyuk bergelut dengan anaknya. Bibirnya nakal menjorok pipi bahkan ketiak putra satu-satunya itu. Ia begitu sebahagia anaknya. Tapi, tiba-tiba Bujang menyaksikan perubahan suasana. Rumput yang menghijau berubah coklat. Pepohonan, sura gemercik air, lenyap. Langit yang biru seketika gelap. Anaknya segera bangkit kemudian pergi dan hilang di balik gelap itu.

Bujang langsung bangkit menyibak rambut panjangnya. Bulu menutupi bibir diseka.

Ada apa ini. Kalian merusak kebahagiaanku,” sergahnya kepada istri dan ibu mertuanya.

“Apa kau tidak sadar dengan ucapanmu. Anak kita mati, lalu kau bilang bahagia. Dasar setan!” Marni membalas. Dia benar-benar marah dengan perkataan Bujang.

“Iya, kau perusak. Siapa bilang anak kita mati. Tidakkah kau lihat aku tadi sedang bermain dengan anak kita. Karena kalianlah dia jadi pergi.”

“Memang kamu sudah gila.”

“Ahk, sudahlah. Keluar saja kalian. Aku mau main dengan anakku lagi.”

Dua tubuh wanita di hadapannya didorong keluar. Dengan cepat dan kasarnya Bujang meraih pintu lalu menguncinya. Kembali dia bersenandung menari. Sementara Marni, wanita itu kembali menangis. Di balik pintu ia mengusap batinnya yang nyeri.

***

Matahari masih seperempatan mata ketika terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Orang-orang ramai. Dari yang besar sampai yang kecil beradu kepala di jendela. Wajah mereka dinampak jelas penasaran ingin menyaksikan suara siapa yang mengerang-erang dari dalam.

Di dalam rumah tak kalah pula sesaknya. Rata-rata perangkat warga ada. Pak RT, Pak RW berada di dalam. Begitu pula orang-orang surau. Mereka yang datang belakangan menyaksikan tubuh Bujang dipegang empat sampai lima orang. Sementara didepannya, nampak pria berpenampilan kumal berbaju serba hitam duduk membakar kemenyan.

“Dari tadi malam dia begini.” Ujar Marni menjawab pertanyaan si dukun.

Si dukun itu manggut tetap komat-kamit. Diambilnya air putih segelas kemudian dimasukkan ke mulut. Air itu dikumur-kumur. Ia berdiri.

“Puih. Pergi kau dari sini. Pergilah ke alammu. Kau datang sendiri, maka pergilah sendiri,”

Tiga kali dukun itu menyemprotkan air dari mulutnya. Tangannya cekatan mengusap wajah Bujang yang basah oleh air jampi-jampinya. Bujang tetap saja demikian. Dia tertawa sejadi-jadinya. Tenaganya bahkan makin terhimpun setelah itu. Dua pria yang memegang lengannya di ayun terpental. Dukun mundur ke belakang.

“Saya menyerah. Roh yang merasuki Bujang sangat kuat. Umurnya sudah tua.”

Dukun itu lalu tak berani lagi menatap mata Bujang yang memelototinya. Dia pamit pergi. Sementara orang-orang surau yang diundang datang hanya dapat mengusap dada.

“Bagaimana ini Pak RT. Apalagi yang harus kita perbuat.”

Marni panik. Apalagi sudah tak ada lagi warga yang sanggup dan mau menenangkan Bujang yang masih saja berjingkrak menari tarian zapin.

“Kalian gila menganggap aku gila. Anakku masih hidup. Ini, lihatlah. Dia senang bermain denganku.”

Bujang kembali menari. Tidak dihiraukannya Pak RT berbisik-bisik ke telinga isterinya. Tak lama kemudian Pak RT keluar. Sekejap lalu enam pemuda bertubuh besar masuk. Tangan kekar mereka melipat kaki dan tangan Bujang hingga tak mampu lagi bergerak. Yang dipelasah pun lemas kemudian dibopong ke dalam mobil.

***

“Ke mana aku ini kalian bawa. Di sini tidak nyaman. Aku mau bermain dengan anakku. Bawa kembali aku pulang.”

Bujang berteriak demikian berulang-ulang. Di tempat itu tidak adalagi Marni, mertua atau pun tetangga. Di tempat itu terdengar sunyi. Di hadapannya kini ada beberapa muda-mudi mengenakan seragam serba putih. Yang wanita mengenakan tutup kepala. Warnanya juga putih. Salah satu diantara mereka memegang jarum suntik, menusukkannya ke urat lengan Bujang.

“Bapak tinggal di sini dulu ya. Di sini bapak bisa istirahat.”

Muda-mudi itu kemudian pergi. Bujang kini sendiri. Urat-uratnya dirasa mengendur. Tubuhya lemas. Kedua kaki tangannya terbujur diikat tali serupa kain. Hidup Bujang dirasanya bahagia. Apalagi kala itu anak lelakinya muncul dihadapan dan kembali mengajaknya bermain.

Di mendung Tanjungpinang suatu sore Desember 2008

1 komentar:

Sultan Yohh mengatakan...

Udah keren Ndre, cerpennya! Plotnya dapat, gaya bahasanya oke. Cuma keteguhan untuk tetap mempertahankan EYD yang masih kedodoran. Tapi ini cuma hal tekhnis.