Kamis, 22 Januari 2009

Cerpen


Perjaka Subandi
cepren Andri Mediansyah

Suara tetabuh musik Melayu riuh di luar. Saat itu, akhir Desember 2008. Kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, wajahnya riang menatap kami: aku dan wanita yang akhirnya dengan bangga kupersunting. "Akhirnya kamu menikah. Akhirnya keperjakaanmu pecah juga." Ah, mereka tak tahu dibalik senyum sebenarnya aku galau.


Namaku Subandi, lahir 45 tahun lalu. Sudah terbilang baya untuk duduk di pelaminan dengan pesta yang cukup meriah. Tapi tak apalah, terserah apa kata mereka .Toh ini pernikahanku yang pertama dan pasti untuk yang terakhir.

Usiaku sudah usang. Tubuh lebih banyak lunglai, mungkin mendekati sekarat. Tapi aku bangga berada di lingkungan orang-orang berperhatian. Meyakinkan bahwa aku masih layak punya pendamping hidup, menghalau agar tak lagi menjadi cemooh "Subandi Perjaka Tua". Emak, kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, selama ini bertanya: "Kenapa kamu lebih pilih membujang?"

*
Suatu hari 30 tahun lalu, aku pernah jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya tidak pantas dicinta. Dia jauh lebih tua dari usiaku yang baru lima belas. Rasa yang tidak pantas karena dia berstatus istri orang.

"Nak mampus kau"

Emak sangat marah tiap kali memergoki aku mengintip wanita itu. Dari balik jendela rumah, atau dari celah kamar mandinya. Emak tahu benar kalau aku suka dia.

"Kenapa kamu suka dia?"

Jawabku ringan saja. Dia cantik. Liuk tubuhnya bahenol. Bibirnya sensual. Aku suka, aku terangsang hingga terkadang bermimpi senggama. “Celaka!” memang. Tapi bagaimana lagi, aku tak kuasa melawan rasa. Cinta ini membelenggu, membalut hati, menggelapkan pandangan.

Sampai suatu hari, aku sangat-sangat marah kepada wanita itu. Dia mencemooh cintaku. Dia tarik tanganku melekat di pakaian memebungkus payudara miliknya. "Kamu ingin cintaku atau ingin ini? Sudahlah, kamu masih kecil. Tau apa soal cinta. Pulanglah kepada ibumu dan meneteklah."

Sial, dia buat hatiku koyak. Panah yang menancap di hati dicabutnya lalu ditancapkan berulang-ulang. Hatiku berkecai buyar. Lari ke gunung, lembah, ngarai, laut, ke dalam gua, sakitnya tak terobatkan. Terbang ke awan, justru yang kulihat hamparan kekecewaan. Aku marah. Dengan apa sakit ini kulampiaskan.

Oh, rupanya ada tempat yang akhirnya membuatku bahagia. Tempat yang mampu meredam amarah darah emosi muda. Satu tempat bernama sarang wanita bejuluk kupu-kupu malam. Di sana malam-malam banyak kuhabiskan. Bersenggama di balik kamar berukuran empat kali empat, bercinta dengan wanita yang dapat sesukaku melampiaskan rasa meski semalam.

Ho ho ho...! Aku bahagia, aku tertawa dalam keperkasaan. Cinta ternyata bisa dibeli. Aku lupa kepada wanita yang kucinta namun bikin sakit hati. Lantaklah. Aku tak peduli lagi pada kesehatan kelamin. Di pikiranku hanya bagaimana nafsu syahwat terlampiaskan. Itu saja. Sampai-sampai aku enggan gunakan pengaman ketika berhubungan badan. Daging bersentuhan langsung dengan daging.

Dan begitulah, usiaku matang ketika aku masih mengkal. Entah berapa banyak wanita yang sudah terlelap di dekapan dada. Sejak itu hari-hari siangku banyak habis bersama kuli pelabuhan atau pengojek di pangkalan. Begitu getolnya aku mencari uang bersama mereka. Sekolah tak lagi jadi prioritas. Lebih banyak bolos hingga akhirnya kuputuskan berhenti saja.

Awalnya emak melarang. "Bagaimana masa depanmu nak. Kamu mau jadi apa." demikian kata beliau. Tapi nasihat emak itu kuanggap angin lalu saja. Jalani saja apa kusuka. Pada prinsifnya takdir manusia telah ditetapkan. Kalau nantinya aku jadi miskin, itu konsekuensi. Itu garisan nasib.

Kekecewaan emak terhadap keputusanku itu terendap lama. Sampai akhirnya rasa di benak beliau pudar setelah aku dipercaya menjadi supir pribadi bos real estate ternama. Gaji bulanan sebagian dijatah buat emak. Yang namanya seseran, itu jatahnya nona-nona malam. Bersenggama itu hal yang tak dapat ditinggalkan. Rutin menjadi agenda mingguan.

Tapi prilaku ini tak banyak orang tahu. Emak, kakak- adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, mereka mengaggap aku ini tetap sebagai perjaka ting ting. Oh, aku kian terlena saja. Bagaimana tidak, aku dicap lajang tua penjaga kesucian.

*

Usiaku 44 tahun ketika akhir hayat emak tiba. Beliau wafat di pangkuanku. Aku menangis ketika emak berbisik. “Menikahlah. Nikahi Sumarni. Dia perempuan baik-baik. Menikahlah”. Oh, aku tak dapat bersuara menjawab iya. Anggukanku akhirnya menghantar ruh emak lepas dari kerongkongan. Beliau pergi dengan tenang bersama bebanku.

“Mak, pergilah dengan damai ke haribaanya. Janji itu akan ku tunaikan. Tak lama anakmu yang nakal ini akan datang mempersunting wanita yang menjadi amanahmu. Mak, doakan aku. ”

Aku pergi meninggalkan kuburan emak yang masih basah sore itu.

*
Sumarni, dia wanita ayu perawan ting ting bunga desa. Usianya tak berpaut jauh dariku. Bukan karena tabiatnya tak betul yang membuat dia tak laku hingga usia kepala empat. Status dan prilaku yang membuat pria selama ini ngeri mendekat. Dia keturunan orang terpandang serta terpelihara. Hanya nasibnya yang sedikit sama seperti aku. Orang tunya belum lama meninggal di Padang Arafah ketika menunaikan ibadah suci yang ketiga.

Sumarni, dia ibarat teratai. Indah diantara kubangan, berkilau diantara pekatnya lumpur. Giginya putih berkilau tersusun rapat diapit sepasang bibir tipis merah marun. Aku terkesima. Senyum itu dia lemparkan masuk melesat ke lubuk hati. Senyum itu lalu membuat lubang di sana. Rasa yang pada 30 tahun silam berserak buyar, satu persatu dikumpulkannya. Senyum itu pula yang membuat keraguan sirna.

Sumarni, kau membuat aku jatuh cinta. Kau bersihkan jalan perasaan, menyibaknya hingga alam mimpi. Kau ada di saat aku tak sadar dalam lelap tidur malam. Kau datang ketika pagi laksana sinar mentari menyusup celah jendela kaca. Sumarni, sudilah kiranya ku bagi hati ini untuk mu. Sudilah engkau menenggak manis kasmaran ini bersamaku. Sumarni, terimalah aku sebagai suamimu.

Sejak melihat engkau, padamu jua perahu ini kutambatkan. Yakinlah perahu itu kan bersandar lama di sana. Talinya akan kuikat dengan simpul erat di dermaga hatimu. Angin kencang, bahkan gulungan ombak yang datang nantinta tak kan kuasa menyeret perahu itu. Sumarni, jangan kau biarkan perahu itu mengambang tanpa isi. Mari engkau naik ke sini bersamaku. Kita arungi samudera ini. Kita belah badai yang mendera nanti.

*

Tepat seratus hari usai kepergian emak, ku utuslah kakak tertua pergi melamar Sumarni.

“Kamu harus ikut Subandi,”
“Tidaklah kak. Mana berani aku ke sana. Dengkulku gemetaran melihat dia. Nanti aku demam. Tidaklah. Biar kalian saja yang ke sana. Iya kalau diterima. Kalau tidak, bisa mampus aku kak. Nanti di kubur sana emak bisa marah habis-habisan karena aku tak menunaikan amanahnya. Sudahlah kak, pergilah kalian saja.”
“Akh, banci kau Subandi. Kan kau sudah pernah jalan sama dia. Tentulah dia tahu kalau kau suka dia.”
“Kak, aku tak berani ngomong soal cinta kepadanya.”
“Jadi apa yang kalian obrolkan?”
“Tak ada.”
“Ya ampun. Jadi kalian cuma….”
“Ya… cuma saling diam. Aku lebih banyak memandang dari pada bicara.”

Wajahku merah. Kakak lalu berkemas pergi bersama rombongan. Di rumah aku duduk, berharap, dan menanti kabar yang mudah-mudahan baik.

*

Ucapan selamat terus mengalir dari tetamu yang hadir di pesta pernikahan kami. Aku bahagia, sebahagia Sumarni yang bersanding bersamaku mesra. Tak terbayang olehku hari ini akan datang. Kakak-adik, paman-bibi, tetangga, kerabat serta sahabat , mereka datang memberi canda: “Subandi jangan lupa berdoa sebelum menunaikan hajat malam pertama nanti.”

Aku hanya diam, malu. Pun demikian Sumarni. Pipinya merah merona. Lengannya menyikut rusukku mesra. Kami lalu tersungging bersama mengeluarkan suara yang rasanya renyah. Sepanjang hari ini, rasanya bahagia serta juga melelahkan.

Waktu pun merangkak senja. Aku dan Sumarni tak lagi mengenakan pakaian kebesaran “raja dan ratu sehari". Kami berdua berdiri di teras menghantar dua tamu yang datang belakangan. Teknisi organ tunggal penghibur pesta pernikahan sibuk menggulung kabel. Perangkat sound sistem setinggi orang sudah diangkut ke pick up diparkir di halaman. Tak lama lagi sepi. Panitia pernikahan sudah selesai menyingkirkan kursi. Satu per satu kerabat serta sahabat pergi. Tak lama lagi, hanya beberapa jam saja aku dan Sumarni akan berdua di dalam kamar pengantin berhias warna warni. Oh… tak lama lagi waktu itu tiba.

Untuk pertama kalinya sepanjang hidup, aku menjadi imam dalam shalat. Shalat maghrib itu ditunaikan dengan aku tampil sebagai pemimpin. Dalam shalat aku bersyukur. Usai shalat aku panjatkan doa tertuju kepada emak. Kunyatakan bahwa aku telah menunaikan amanahnya. Ku harapkan emak bahagia mendengarkan doa. Tenanglah ia di alam baka sana.

Malam itu juga, kami berdua menyantap makan bersama. Tidak yang pertama. Ini yang kedua setelah waktu pertama berkenalan dulu. Romantis, makan malam itu kami benar-benar diperlakukan bak raja dan ratu. Kakak dan adik-adik melarang Sumarni untuk melakukan pekerjaan rumah apa pun. Tidak meski hanya mengkat piring ke dapur.

“Hari ini kamu santai dulu. Biarkan kami,” Itu kata kakak setiap kali Sumarni berusaha meraih piring atau kain lap untuk membersihkan meja makan. Sumarni mengangguk iya. Dilihatnya aku yang duduk disampingnya. Dia tersenyum melihat anggukanku. Oh, senyumnya itu begitu indah. Indah laksana prilakunya. Sangat ku sesalkan kenapa dia mesti menikah dengan aku yang sekarang ini.

Kami lalu meninggalkan meja makan, bergegas pergi ke ruang tamu yang telah menunggu tetua keluarga. Tubuhku terasa sangat lelah. Sempoyongan rasanya hendak pingsan. Tak konsen lagi aku mendengar petuah perkawinan dari mereka. Keringat menjagung keluar dari celah kulit ari. Suara-suara itu terasa bergentayang di telinga. Pun demikian pandangan. Aku lemas. Tubuh ku sandarkan di bantalan kursi sofa.

*

Di dalam kamar kami berdua. Dingin, dingin sekali. Sedingin sikap aku dan Sumarni yang baru kunikahi pagi tadi. Tak ada bahasa yang berujar. Sumarni duduk di depan meja rias, aku berbaring di ranjang. Ku tarik selimut berwarna gelap yang terlipat rapi di ujung kaki. Kurekapkan tubuhku yang makin menggigil. Dunia gelap. Aku tak sadarkan diri.

*

Tiga hari kemudian, aku terbangun. Ku lihat Sumarni, kakak-adik, paman-bibi, keponakan-keponakan, tetangga, kerabat serta sahabat, menangis. Tubuhku melayang. Terkejut kulihat emak berada di sampingku. Ia tersenyum. Katanya ia bangga karena aku telah menunaikan harapannya. Ku toleh lagi ke hadapan. Jantungku berdegap kencang. Di pembaringan itu tubuhku. Sumarni mengelus-elus kepalaku. Yang lain kusaksikan masih saja menangis. "Oh Subandi, rupanya kamu tidak perjaka lagi."

Oh, kini aku ikut menangis. Aku ingin menyampaikan kata kepada mereka. "Maaf... maafkan aku. Selama ini memang kusembunyikan Si Raja Singa ini."


Tanjungpinang, 23 Januari 2009

Tidak ada komentar: